Pengujian Materiil Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Terhadap Uud 1945
Oleh: Sintia Kurniawati, S. H.
Tanggal 24 September 1960 menjadi titik bangkitnya hukum pertanahan nasional setelah disetujui dan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Pertanahan atau bisa disebut UUPA. Lahirnya UUPA sebagai penanda berakhirnya dualisme hukum pertanahan di Indonesia yang semula bersumber pada hukum kolonial dan hukum adat, yang diubah menjadi hukum pertanahan nasional dan struktur pertanahan yang demokratis dan populis. Ketentuan mengenai sumber daya alam tercantum dalam Pasal 8 UUPA yang menyebutkan “atas dasar hak menguasai dari Negara diatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa”. Penjelasan Umum II UUPA berpangkal pada pendirian bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dimana negara bukan sebagai pemilik tanah, tetapi bertindak sebagai organisasi kekuasaan tertinggi seluruh rakyat (bangsa) Indonesia sebagai badan penguasa yang mengatur peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah-tanah di Indonesia.
Sehingga semangat keadilan terangkum jelas bahwasannya UUPA dilahirkan untuk memperhatikan perbedaan masyarakat yaitu dengan menjamin perlindungan hukum terhadap masyarakat. Akan tetapi semangat tersebut meredup bersamaan dengan disahkannya UU CK terutama pada klaster pertanahan. Ketentuan Bank Tanah dalam UU CK terdapat dalam Bab VIII Bagian Keempat yaitu pasal 125- 135. Pembentukan Bank Tanah itu disebutkan sebagai pelaksanaan amanat RPJMN 2015-2019 yang menyebutkan bahwa pada tahun 2019 sudah harus terbentuk Bank Tanah (BT) sebagai alternatif penyediaan tanah untuk infrastruktur.
Bahwa terkait pembentukan bank tanah, dinilai telah bertabrakan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu substansi kepentingan pembentukan bank tanah hanya bagi kepentingan sekelompok orang tertentu. Bukan sebaliknya dipergunakan bagi kemakmuran rakyat sebesar- besarnya.
Apabila dillihat dari latar belakang pembentukan bank tanah, tidak lain hanyalah untuk menyediakan tanah bagi investor dengan harapan dapat membuka lapangan kerja seluasnya, kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah, dari mana asal tanah untuk investor tersebut? Tentu saja yang mulia, dari hasil pengadaan tanah yang berasal dari tanah masyarakat dan Masyarakat Hukum Adat (MHA).
Jika hal ini terjadi, maka masyarakat dan MHA yang semula mempunyai tanah dan memperoleh hasil/ produksi dari bekerja atau mengambil manfaat dan mengusahakan tanah dan SDA lainnya dalam lingkungan tempat tinggal/bekerja dan atau dalam wilayahnya, meskipun dengan telah diberikannya ganti kerugian dan kemudian mereka telah melakukan relokasi secara mandiri sehingga jauh dari tempat tinggal semula, dan tanpa kepastian untuk memperoleh kesejahteraan sosial-ekonomi yang paling tidak setara dengan kondisi sebelumnya. Mereka yang semula dapat hidup dari bekerja di bidang pertanian, dan lain-lain lapangan kerja yang ada di pedesaan, maupun MHA dapat menghidupi diri secara mandiri tanpa bantuan dari Pemerintah, sangat bisa kehilangan pekerjaan karena harus menata kehidupan di tempat yang baru.
Kemudian jika seandainya pada lokasi yang kemudian menjadi kewenangan Bank Tanah tersebut disediakan untuk investor, dan seandainya pula kemudian dibangun pabrik dan lain– lain bentuk kegiatan usaha, apakah dapat menciptakan lapangan kerja yang seluas – luasnya? sebagaimana yang diharapkan oleh negara? Bahwasanya ada beberapa hal yang perlu untuk dipahami untuk menjawab pertanyaan tersebut, Bahwa Pertama, lapangan kerja yang tersedia tidak mungkin dapat menyerap tenaga kerja sebanyak– banyaknya. Pasti terbatas karena ada syarat – syarat yang harus dipenuhi calon pekerja dan hal itu sangat wajar. Kedua, lalu, bagaimana dengan nasib bekas pemegang hak atas tanah/ MHA yang tanahnya dibebaskan untuk dikuasai Bank Tanah? Kecil kemungkinannya untuk terserap dalam lapangan kerja baru, baik karena jarak tempat tinggal, maupun pemenuhan persyaratan untuk diterima sebagai tenaga kerja.
Fenomena ini dapat dipahami sebagai “menciptakan lapangan kerja” dengan menghilangkan pekerjaan yang ada. Tenaga kerja yang terserap terbatas dan kemungkinan lebih banyak berasal dari “luar” (bukan masyarakat setempat yang tanahnya diambil alih untuk dijadikan kawasan perkembangan ekonomi).
Bahwa, akibat peran dan kekuasaan Negara dalam memberikan jaminan dan perlindungan terhadap kelompok-kelompok Masyarakat/ MHA semakin minim, maka potensi terjaminnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat pun semakin terabaikan. Seorang investor, ketika akan berinvestasi, tentu hal yang menjadi bahan pertimbangannya adalah keuntungan (profit oriented). Oleh karena berangkat dari pemikiran yang profit oriented, dapat terjadi (potensial) justru hak– hak rakyat yang menjadi terabaikan. Calon investor tentu akan lebih memikirkan berapa besar untung yang dapat diperoleh, daripada memikirkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat setempat, apalagi rakyat Indonesia secara keseluruhan. Tanpa adanya “pemberdayaan” untuk para bekas pemegang hak/MHA, melalui aturan tentang keharusan adanya monitoring dan evaluasi terhadap bekas pemegang hak / MHA untuk memastikan kesejahteraan ekonominya tidak berkurang pasca relokasi mandiri dari tempat semula, maka pembukaan lapangan kerja oleh investor tidak akan berpengaruh terhadap nasib mayoritas bekas pemegang hak / MHA yang meninggalkan tanahnya demi kepentingan penyediaan tanah untuk investor melalui Bank Tanah.
Bahwa seperti yang telah kita ketahui bahwa tanah merupakan basis produksi yang penting bagi masyarakat tani manapun karena itu akses kepemilikannya seringkali menimbulkan sengketa antara masyarakat tani di satu pihak dan dengan penguasa serta kepentingan modal di pihak lain. Bagi masyarakat tani di Indonesia, fungsi tanah tidak hanya terbatas pada nilai-nilai ekonomi saja, tetapi juga mengandung arti sosial, politik, budaya, bahkan religi, dimana kepemilikan tanah turut membentuk struktur dalam masyarakat dan membangun pola hubungan antara petani dengan penguasanya serta petani dengan kepercayaan dan lingkungan sekitarnya.
Bahwa kenyataannya, petani yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia adalah mereka yang tak memiliki lahan. Para petani itu adalah buruh tani yang bekerja untuk orang lain. Mereka bergantung kepada sikap orang lain. Bahwa di antara jumlah petani di Indonesia, 70 persen adalah mereka yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar. Sungguh ironis bagi Indonesia yang sebagian besar di antara 220 juta penduduk adalah petani. kemudian Tanah-tanah petani telah berada di tangan orang-orang kaya kota yang populer disebut sebagai petani berdasi. Sebagian lagi tanah petani semakin sempit akibat berubah fungsinya sawah menjadi kebutuhan kebutuhan sekunder para orang kota, yang pada Intinya adalah lahan pertanian itu semakin sempit.
Bahwa telah banyak terjadi kasus persengketaan lahan antara rakyat dengan pemerintah, yaitu posisi negara sebagai lawan sengketa dari rakyat baik yang direpresentasikan melalui lembaga pemerintah, badan-badan usaha milik negara/daerah, maupun institusi militer secara proporsional jumlahnya cukup besar. Bahwa Berdasarkan data dari naskah akademik Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) yang dibentuk oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) persentase lembaga pemerintah menjadi lawan sengketa dari rakyat setempat jumlahnya 39,3%; sedangkan badan usaha milik negara/daerah jumlahnya 12%; dan institusi militer jumlahnya 3,2%. Dengan kata lain dari seluruh sengketa agraria yang dapat terekam, posisi negara dan institusi-institusinya yang menjadi lawan dari rakyat jumlahnya sekitar 54,5%. Dengan demikian selebihnya, atau sekitar 55,5% dari keseluruhan kasus tersebut, berarti rakyat setempat berhadapan dengan perusahaan-perusahaan swasta. Meskipun demikian, posisi pemerintah di dalam kasus-kasus konflik antara rakyat setempat dengan perusahaan-perusahaan swasta selalu melibatkan pihak pemerintah, dikarenakan melalui lembaga pemerintah itulah yang menerbitkan sejumlah ijin atau hak-hak atas tanah maupun hak-hak untuk mengelola sumber daya alam tertentu konflik-konflik tersebut jadi terpicu. Bahkan pada banyak kasus, keterlibatan lembaga negara tidak hanya melalui institusi pemerintah, melainkan juga melibatkan militer dan lembaga peradilan.
Oleh karena itu, UU CK yang bukan didasarkan pada kebutuhan rakyat dan secara vulgar telah melawan konstitusi. UU CK merupakan upaya negara untuk berpaling dari kewajiban konstitusionalnya dengan mengalihkan kewajiban itu kepada kuasa modal. Hal ini tampak karena kebijakan investasi ini menafikan tanggung jawab negara untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan adanya ketentuan Bank Tanah justru malah menghambat kesejahteraan masyarakat karena hanya menguntungkan para pemilik modal. Petani dan masyarakat hukum adat dikhawatirkan tidak mendapatkan hak-hak atas tanahnya dengan adil. Kemudian bahwa UU CK telah menabrak putusan Mahkamah Konstitusi No. 21-22/PUU-V/2007 yaitu terkait jangka waktu hak atas tanah..
Terkait perpanjangan jangka waktu atas tanah, salah satunya pada Hak Guna Usaha (HGU) dalam UU CK (sebagaimana yang telah dijabarkan pada peraturan pelaksana yaitu PP No 18 tahun 2021) menjadi 95 tahun lamanya. Perpanjangan waktu menjadi 95 tahun jauh lebih lama ketimbang yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, yakni paling lama 60 tahun. Bahkan perpanjangan HGU hingga 95 tahun disebut-sebut lebih lama dari yang diberikan pada zaman kolonial Belanda terdahulu. Saat itu, HGU diberikan hingga 75 tahun. Ketentuan jangka waktu hak pengelolaan atas tanah selama 95 tahun itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21-22/PUU- V/2007.Putusan MK tersebut membatalkan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang mengatur pemberian HGU selama 95 tahun, yang berarti lebih lama dari UUPA Nomor 5/1960 dan RUU Cipta Kerja.
Bahwa, UU CK telah melanggar prinsip dalam Tap MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PA dan PSDA).
Bahwa ketetapan MPR No. IX Tahun 2001 telah memberikan mandat yang jelas baik yang ditujukan kepada DPR maupun Presiden untuk melaksanakan pembaruan agraria dan penetapan prinsip- prinsip baru dalam pengelolaan Sumber Daya Alam di masa depan harus berpegang pada I2 prinsip sebagaimana yang terdapat pada pasal 4 Tap MPR tersebut.
Seharusnya langkah pertama dalam implementasi ketetapan ini adalah melakukan pengkajian ulang terhadap seluruh peraturan perundang- undangan dan turunannya yang berkaitan dengan bidang agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Bukan malah membuat kebijakan baru berupa pembentukan bank tanah yang secara substansi jelas- jelas bertentangan dengan TAP MPR tersebut. Bahwa letak pertentangannya terdapat pada perbedaan tujuan dari keduanya, yangmana TAP MPR tersebut mengamanahkan pengahormonisasian regulasi terkait agraria, akan tetapi yang terjadi malah justru sebaliknya, yaitu pemerintah membentuk bank tanah yang justru merubah/ menghapus pasal dari Undang- Undang Sektoral sebelumnya, yang dalam hal ini adalah Undang- Undang Nomor 2 Tahun 20I2 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Bahwa Ketika disebutkan bahwa salah satu tujuan pembentukkan Bank Tanah, sebagaimana yang tercantum pada Pasal 126 adalah untuk Reforma Agraria bahkan jatahnya 30% dari tanah negara yang diperuntukkan pada Bank Tanah, sudah barang tentu terasa jelas bahwa hal ini merupakan gagasan yang dipaksakan. Dari segi gagasan dasar pembentukkan Bank Tanah,, secara terang-terangan diakui bahwa Bank Tanah dibentuk untuk menanggapi keluhan investor yang kesulitan yang memperoleh tanah.
Ketika gagasan “penyediaan tanah untuk kepentingan investor” itu kemudian diramu dengan berbagai tujuan yang tidak jelas definisi dan ruang lingkupnya, khususnya berkaitan dengan Reforma agraria, tampak bahwa tujuan ini tidak kompatibel dengan tujuan utama Bank Tanah. Bahwa Tujuan dari Reforma Agraria sebagaimana yang tercantum dalam PerPres No 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, bertujuan untuk merombak ketimpangan dalam akses penguasaan dan pemilikan tanah; suatu upaya yang terstruktur dan terfokus karena bertujuan untuk memberikan keadilan ditengah situasi dan kondisi dimana sekelompok masyarakat yang kuat posisi tawarnya berpeluang memperoleh akses seluas-luasnya atas tanah, dan sebaliknya kelompok masyarakat yang lebih besar jumlahnya tetapi lemah posisi tawarnya, relatif tertutup untuk memperoleh akses terhadap tanah yang merupakan hak ekonomi setiap orang.
Dari keseluruhan uraian tesebut, telah secara jelas bahwa tujuan dari UU No. 11 Tahun 2020 ini untuk membuat lapangan pekerjaan serta meningkatkan penanaman modal dengan memberikan perubahan dan kemudahan berbagai aspek pengaturan mengenai perizinan dan pengadaan tanah sudah sangat jelas bertentangan dengan UUD terutama pasal 33 ayat (3) karena negara tidak mengutamakan kemakmuran rakyat, justru malah mengutamakan kesejahteraan kaum pemilik modal. Sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 terkait pengujian UU CK yang dinyatakan konstitusional bersyarat yang salah satu ketentuan bersyaratnya adalah mengamanahkan pembentuk undang- undang untuk memperbaikki UU tersebut dengan jangka waktu maksimal 2 tahun sejak putusan tersebut ditetapkan merupakan keputusan yang dirasa cukup tepat karena mengakomodir kepentingan pembuat UU dan juga rakyat yang dirugikan atas berlakunya UU CK tersebut.
0 Response to "Pengujian Materiil Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Terhadap Uud 1945"
Posting Komentar