Kritik Konsep Berpikir atas Kalimat: “Saya lebih benar dari Anda!/Anda Merasa Lebih Benar dari Saya?”
Mei 18, 2020
Add Comment
by Dicky Adi Putra
Manusia memiliki “ma`lumat” (informasi) yang didapatkannya selama menjalani kehidupan
di lingkungannya, baik lingkungan belajar, bergaul, dan aktivitas lainnya yang
mempengaruhi cara pandangnya – dalam berbagai pemberian istilah lain dari para
ahli.
Al-Habib Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam
buku Islam dan Sekularisme – kemudian dikutip oleh murid-murid beliau seperti
ustadz Hamid Fahmy Zarkasyi, ustadz Adian Husaini, dan lainnya – tiap kata
dalam bahasa dikonstruksi oleh “worldview”
(Pandangan Alam) sebagai asas.
Syeikh Sayyid Quthb memilih kata yang memiliki
makna cara pandang dengan istilah “tashawwur”,
dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an surah al-Fatihah.
KH. Hafidz Abdurrahman saat memberi pengantar
bukunya, Islam: Politik dan Spiritual, setiap hal memiliki asas, yangmana “bangunan” di atasnya yang tumbuh dan berkembang
mengikuti asasnya. Begitu pula – menurut penulis – ketika mencocokkan
penjelasan beliau terhadap fakta percakapan yang tentu menggunakan bahasa.
Tulisan ini bukanlah tulisan ilmiah seperti yang
biasanya diajarkan di kelas perkuliahan “Metodologi Penelitian” dan sebagainya.
Namun tulisan ini lebih kepada hasil perenungan penulis berkenaan pengalaman
penulis melihat interaksi orang-orang di berbagai tempat baik online maupun
offline (tulisan ini terinspirasi dari
diskusi online salah satu Whatsapp Group).
“Saya lebih benar!” / “Anda merasa lebih benar?”
Pertanyaan ini baik orang itu memakai kalimat
pernyataan ataupun pertanyaan, sama saja ingin melebihkan dirinya, entah jenis
kalimat apa yang dilontarkannya itu.
Misal (menggunakan kata ganti “Saya-Anda”):
- "Saya lebih benar dari Anda!"; maka secara tersurat, "Saya" merasa lebih benar dan “Anda” kurang benar atau benarnya “Anda” tidak sebenar "Saya", atau bahkan selain "Saya" maka “Anda” salah.
- Namun ketika "Saya" menggunakan kalimat tanya: "Anda merasa lebih benar?"; maka ini menandakan "Saya" – yang bertanya – secara tersirat menyatakan “Saya” yang lebih benar daripada "Anda". Hanya “Saya” menggunakan kalimat tanya agar “Anda” meragukan kembali keabsahan pendiriannya.
Memang wajar bagi tiap "Saya", karena
"Saya" sebagai manusia memiliki naluri ingin dirinya diakui
(eksistensinya ada; gharizah al-baqa’). Tapi butuh kehati-hatian dalam
mengucapkan kalimat pernyataan atau pertanyaan itu. Kalau tidak berani
menyatakan (pernyataan) atau menjawab (pertanyaan) secara matang, atau kalau
memang seharusnya ada keluasan pendapat, maka sebaiknya ucapan itu tidak diucapkan.
Kalimat itu bisa memicu tinggi hati kalau digunakan pada waktu yang salah,
kecuali kalau memang yang dihadapi oleh "Saya" adalah “Anda” yang
"Saya pikir” benar-benar salah, semisal saat dialog antaragama. Dr.
William Craig saat berdebat dengan Dr. Jamal Badawi mengenai Trinitas dan
Tauhid pun mengatakan bahwa tidak mungkin kedua pendapat benar. Yang
memungkinkan adalah salah satunya yang benar, atau bahkan kedua-duanya salah.
Bisa jadi Hindu atau Buddha yang benar. Tapi kalau dialog internal agama –
antar-mazhab, organisasi, dan sebagainya – bahaya kalau kalimat-kalimat itu –
yang dari tadi saya singgung – dilontarkan.
Kecuali ada standar
kebenaran/kriteria benar yang harus disepakati bersama sebelum melakukan
diskusi dan hasil diskusinya dinyatakan "lebih benar daripada
lainnya." Dan tidak perlu dipertanyakan lagi "Anda merasa lebih
benar?", karena udah pasti jawabannya "Iya/tidak. Saya lebih benar/kurang
benar berdasarkan standar yang kita sepakati." Bisa kita contohkan yakni
"Lembaga Tarjih Muhammadiyah” yang membahas perbedaan pandangan fiqh dan
mencari pendapat terkuat di antara semua pendapat.
Wallahu A`lam bish-shawab. Semoga mudah
dipahami.
0 Response to "Kritik Konsep Berpikir atas Kalimat: “Saya lebih benar dari Anda!/Anda Merasa Lebih Benar dari Saya?”"
Posting Komentar