-->

Kritik Konsep Berpikir atas Kalimat: “Saya lebih benar dari Anda!/Anda Merasa Lebih Benar dari Saya?”



by Dicky Adi Putra
    Manusia memiliki “ma`lumat” (informasi) yang didapatkannya selama menjalani kehidupan di lingkungannya, baik lingkungan belajar, bergaul, dan aktivitas lainnya yang mempengaruhi cara pandangnya – dalam berbagai pemberian istilah lain dari para ahli.

    Al-Habib Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam buku Islam dan Sekularisme – kemudian dikutip oleh murid-murid beliau seperti ustadz Hamid Fahmy Zarkasyi, ustadz Adian Husaini, dan lainnya – tiap kata dalam bahasa dikonstruksi oleh “worldview” (Pandangan Alam) sebagai asas.

    Syeikh Sayyid Quthb memilih kata yang memiliki makna cara pandang dengan istilah “tashawwur”, dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an surah al-Fatihah.

    KH. Hafidz Abdurrahman saat memberi pengantar bukunya, Islam: Politik dan Spiritual, setiap hal memiliki asas, yangmana “bangunan” di atasnya yang tumbuh dan berkembang mengikuti asasnya. Begitu pula – menurut penulis – ketika mencocokkan penjelasan beliau terhadap fakta percakapan yang tentu menggunakan bahasa.

    Tulisan ini bukanlah tulisan ilmiah seperti yang biasanya diajarkan di kelas perkuliahan “Metodologi Penelitian” dan sebagainya. Namun tulisan ini lebih kepada hasil perenungan penulis berkenaan pengalaman penulis melihat interaksi orang-orang di berbagai tempat baik online maupun offline (tulisan ini terinspirasi dari diskusi online salah satu Whatsapp Group).

    “Saya lebih benar!” / “Anda merasa lebih benar?”

    Pertanyaan ini baik orang itu memakai kalimat pernyataan ataupun pertanyaan, sama saja ingin melebihkan dirinya, entah jenis kalimat apa yang dilontarkannya itu.

    Misal (menggunakan kata ganti “Saya-Anda”):
  • "Saya lebih benar dari Anda!"; maka secara tersurat, "Saya" merasa lebih benar dan “Anda” kurang benar atau benarnya “Anda” tidak sebenar "Saya", atau bahkan selain "Saya" maka “Anda” salah.
  • Namun ketika "Saya" menggunakan kalimat tanya: "Anda merasa lebih benar?"; maka ini menandakan "Saya" – yang bertanya – secara tersirat menyatakan “Saya” yang lebih benar daripada "Anda". Hanya “Saya” menggunakan kalimat tanya agar “Anda” meragukan kembali keabsahan pendiriannya.
    Memang wajar bagi tiap "Saya", karena "Saya" sebagai manusia memiliki naluri ingin dirinya diakui (eksistensinya ada; gharizah al-baqa’). Tapi butuh kehati-hatian dalam mengucapkan kalimat pernyataan atau pertanyaan itu. Kalau tidak berani menyatakan (pernyataan) atau menjawab (pertanyaan) secara matang, atau kalau memang seharusnya ada keluasan pendapat, maka sebaiknya ucapan itu tidak diucapkan. Kalimat itu bisa memicu tinggi hati kalau digunakan pada waktu yang salah, kecuali kalau memang yang dihadapi oleh "Saya" adalah “Anda” yang "Saya pikir” benar-benar salah, semisal saat dialog antaragama. Dr. William Craig saat berdebat dengan Dr. Jamal Badawi mengenai Trinitas dan Tauhid pun mengatakan bahwa tidak mungkin kedua pendapat benar. Yang memungkinkan adalah salah satunya yang benar, atau bahkan kedua-duanya salah. Bisa jadi Hindu atau Buddha yang benar. Tapi kalau dialog internal agama – antar-mazhab, organisasi, dan sebagainya – bahaya kalau kalimat-kalimat itu – yang dari tadi saya singgung – dilontarkan.

    Kecuali ada standar kebenaran/kriteria benar yang harus disepakati bersama sebelum melakukan diskusi dan hasil diskusinya dinyatakan "lebih benar daripada lainnya." Dan tidak perlu dipertanyakan lagi "Anda merasa lebih benar?", karena udah pasti jawabannya "Iya/tidak. Saya lebih benar/kurang benar berdasarkan standar yang kita sepakati." Bisa kita contohkan yakni "Lembaga Tarjih Muhammadiyah” yang membahas perbedaan pandangan fiqh dan mencari pendapat terkuat di antara semua pendapat.

    Wallahu A`lam bish-shawab. Semoga mudah dipahami.

0 Response to "Kritik Konsep Berpikir atas Kalimat: “Saya lebih benar dari Anda!/Anda Merasa Lebih Benar dari Saya?”"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel