Analisis Kritis terhadap Problematika Indonesia pasca Revolusi Mei
Oleh: Zainul Muttaqin[i]
Sebenarnya tidak asing jika penulis menyebut peristiwa revolusi mei dengan
sebutan gerakan reformasi pada Mei 1998. Sebutan revolusi mei memang belum
terlalu umum digunakan hari ini. Adian Napitupulu, tokoh pelopor Forum Kota
(Forkot) pada gerakan reformasi menegaskan bahwa mahasiswa pada saat itu tidak
menyebutkan gerakan reformasi sebagai gerakan revolusi karena sangat identik
dengan gerakan komunis, padahal secara teori gerakan ini bersifat revolusi.[ii]
Pada mulanya, revolusi mei terjadi akibat kegelisahan organisasi mahasiswa, ormas (organisasi massa), dan masyarakat dengan kebijakan rezim orde baru yang cenderung diskriminatif dan mementingkan golongan birokrat. Kebebasan berpendapat dikekang dengan tindakan represif, hutang negara yang semakin bertambah meskipun swasembada pangan gencar digalangkan, kurs rupiah yang pada 1998 berada pada angka Rp. 16.000 per dollar merupakan sedikit banyak masalah yang terjadi sehingga mengangkat ghirah sebagian besar masyarakat untuk segera memberontak. Akhirnya pada 21 mei, Soeharto mengundurkan diri dengan beberapa kemungkinan alasan, (1) Soeharto mundur karena inisiatifnya sendiri tanpa tekanan dari siapapun; (2) Soeharto mundur karena tekanan dan desakan mahasiswa dan massa rakyat; (3) Soeharto mundur karena perpecahan elite, terutama penolakan 14 orang menteri untuk bergabung kembali dengannya; dan (4) Soeharto mundur karena tekanan dari Amerika Serikat melalui IMF.[iii] Terlepas alasan di atas menurut penulis, dorongan massa di jalanan Jakarta dan sejumlah kota di Jawa adalah tonggak revolusi dengan tujuan menumbangkan Soeharto.
Berlangsungnya revolusi mei juga dilirik oleh para pendukung marxis. Dalam pengantar buku “Program Transisional” karya Leon Trotsky, Alan Woods seorang marxis cum trotskyis mengatakan, “Revolusi ini akan melalui berbagai tahapan, yang mana kita sedang menyaksikan babak pertama. Kemungkinan menangnya kelas buruh akan tergantung pada kualitas kepemimpinanya. Kaum mahasiswa dan buruh telah menunjukkan keberanian dan inisiatif besar. Dipersenjatai dengan sebuah program dan perspektif yang tepat, kemenangan dapat terjamin. Tetapi bila kepemimpinan yang dibutuhkan tidak terbangun dapat berakhir pada pecahnya Indonesia. Kemenangan besar atau kekalahan paling parah?”.[iv] Pernyataan-pernyataan dalam buku tersebut sejalan dengan peristiwa yang terjadi seperti berdirinya Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada Juli 1996 yang berhaluan kiri. Meskipun pada akhirnya paham ini mulai diberantas kembali dan hanya beredar di bawah tanah.
Terbit Masalah Pasca Revolusi
Selanjutnya, setelah Soeharto tumbang terjadi empat kali amandemen konstitusi,
perubahan beberapa undang-undang serta pembentukkan lembaga independen seperti
KPK dan KPU yang sejalan dengan semangat reformasi. Kekuasaan legislatif diperkuat karena sebelumnya kekuasaan
eksekutif super power dalam penyelenggaran negara. Selain itu, sistem
multipartai diperluas, banyak partai baru bermunculan untuk mengikuti pemilu.
Sistem pemilu yang berasaskan luber jurdil diperkuat dengan pembentukkan KPU yang
independen. Masalah-masalah
hukum yang terjadi mulai dibenahi secara struktural dan dilegislasikan dalam UU
oleh DPR, misalnya UU Kepolisian, UU Kejaksaan dan UU Tipikor yang memuat
pembentukkan KPK sebagai anti tesis dari korupsi yang masif terjadi di republik
ini. Intinya perubahan signifikan ini dilakukan demi mewujudkan demokrasi
sejati.
Perubahan dalam penegakan hukum dan supremasi politik saja tidak cukup. oleh karena itu, kedaulatan ekonomi bagi masyarakat juga wajib diurus kembali. Pada masa presiden Yudhoyono, rapat kabinet mempersoalkan masalah ekonomi sering dilakukan. Namun, hasilnya tidak terlalu masif sehingga hanya 5-6% pertumbuhan ekonomi pada masa kekuasaan SBY, disamping harga-harga komoditas yang semakin tinggi. Begitupun dengan realitas yang terjadi sekarang, angka kemiskinan menurut BPS menunjukkan melebihi angka 24 juta jiwa, dengan catatan angka ini tidak kredibel dengan kondisi riil masyarakat, standar kemiskinan pun masih tinggi. Di sisi lain, hutang luar negeri tembus 6000 Triliun. Masalah juga terjadi pada peningkatan kekuatan SDM dan kecenderungan terhadap tenaga kerja asing (TKA) untuk masuk di Indonesia. Kekuatan SDM kita dalam hal ini masih bergantung pada kekuasaan kontrol asing.
Krisis kepemimpinan juga terjadi di kekuasaan legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang cenderung memperkaya diri sendiri. Pada awalnya memang sistem multipartai tidak cocok dengan sistem presidesial yang hanya mewakili segolongan koalisi saja dan malah tidak berpegang teguh satu sama lain dengan partai oposisi. Oleh karena itu, menurut Buya Syafi’i maarif negara ini telah “mati rasa” dan semakin tidak terkontrol arah kepemimpinannya dan malah mementingkan individu, kelompok dan koalisi masing-masing.[v] Ditambah pembodohan terhadap masyarakat yang setiap hari didengungkan oleh berbagai media massa maupun media social. Kepemimpinan tak lagi pure untuk kesejahteraan rakyat dengan banyaknya kasus korupsi yang menjerat pejabat. DPR dan pemerintah pun berpihak pada golongan penguasaha dibuktikan dengan pembahasan RUU Omnibus law cipta kerja yang terus dibahas meski masyarakat menderita di tengah pandemi hari ini. Disini kita patut mempertanyakan pemerintah yang berdiri di atas perjuangan para korban revolusi mei dan menuntut pertanggungjawaban.
Bagaimana KAMMI dan Masyarakat bertindak?
Tentu gelisah saja tidak punya dampak yang signifikan, sehingga dibutuhkan kerja ekstra dari berbagai golongan masyarakat, organisasi massa, dan mahasiswa yang tergabung dalam masyarakat sipil mengkritik kebijakan pemerintah sembari mengabdi pada sektor masing-masing. Akhirnya, KAMMI yang menjadi salah satu napas baru pasca revolusi mei selalu mengkritisi kebijakan pemerintah. Banyak terjadi demonstrasi sebagai bentuk kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah. Namun, pemerintah selalu bertelinga tebal dan menghasilkan wacana yang kontra produktif dengan aspirasi masyarakat. Di sisi lain, hukum digunakan oleh kekuasaan untuk membredel kebebasan masyarakat dalam mengkritisi kekuasaan.
Bentuk akhir dari permasalahan carut marut negeri ini harus diselesaikan secara seksama dengan kontrol sosial oleh pemerintah dan masyarakat. Masyarakat mesti cerdas di era post modern ini, dan berperan dalam mengkritisi kebijakan pemerintah. Pemerintah mesti menyadari bahwa peran masyarakat adalah bukti bahwa demokrasi menjadi semakin baik. Jikalau kita sudah memenuhi kriteria sebagai bangsa yang demokratis serta berdiri di atas kaki sendiri, maka revolusi mei tidak akan menjadi revolusi yang sia-sia dan dalam hal ini negara telah menyelesaikan era reformasi yang sampai sekarang tak kunjung berakhir.
Yogyakarta, Maret 2018,
[i]Kader KAMMI UIN yang segera tersertifikasi sebagai AB1 28 april
mendatang
[ii]Ditegaskan oleh Adian Napitupulu ketika ditanya oleh Najwa Shihab
pada acara Mata Najwa dengan tema “Elegi Reformasi” pada 14 mei 2014
[iii]Donald K. Emerson, “Krismon dan Lengser: Kemelut Tahun 1997-1998,
Jakarta: Gramedia Pustaka, 2001, hal. 521. Dijelaskan juga dalam buku
“Masalah-masalah Demokrasi & Kebangsaan Era Reformasi” karya Syamsuddin
Haris.
[iv]Leon Trotsky, “Program Transisional”, Yogyakarta: Resist Book,
2012, hal. 18.
[v]Syamsuddin Haris, “Masalah-masalah Demokrasi & Kebangsaan Era
Reformasi”, Jakarta: Pustaka Obor, 2014, hal. 4
0 Response to "Analisis Kritis terhadap Problematika Indonesia pasca Revolusi Mei"
Posting Komentar