Ramadhan Pergi, Masih Jauh kah Persatuan?
Juli 16, 2018
Add Comment
Oleh : Yusuf Mirza Afriandika
Ramadhan
adalah nama salah satu bulan dalam hitungan kalender hijriyah, yang sistem
kalenderisasinya mengacu pada peredaran bulan (qamariyah). Mengutip dari Qadhi
Abu Bakr ibn al-Arabi, Hamza Yusuf menjelaskan bahwa rahasia umat Muslim
memakai sistem kalender qamariyah, bukannya sistem kalender syamsiyah, adalah
karena matahari, cahayanya, digunakan manusia untuk kepentingan duniawi,
sementara bulan, sinarnya, digunakan untuk meniti kepentingan ukhrowi. Lantas
Ramadhan menjadi puncak berseminya semangat "perburuan" keuntungan
ukhrawi, motivasi yang datang memompa jiwa manusia secara ajaib untuk
merindu-mengharap keindahan kampung halamannya di akhirat, yakni surga-Nya. Ya,
secara temporal, Ramadhan menjadi pusat kegiatan spiritual umat Islam yang menakjubkan,
yang sangat disedihkan kepergiannya oleh mereka yang benar-benar tajam
keimanannya.
diningdfc.com
diningdfc.com
Kini
Ramadhan telah pergi. Bagai rembulan yang menghilang disambut mentari. Seakan kehidupan yang dominan
berorientasi ukhrowi itu pergi, berganti kehidupan seperti biasanya yang penuh
ambisi duniawi. Kepergiannya begitu menghantui, seiring dengan teringatnya
kembali kita kepada segenap persoalan dunia yang hampir kita kesampingkan(?) di
bulan mulia ini.
Pertanyaannya kini, sukseskah kita dalam mensyukuri dan menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan kemarin? Sudahkah kita kembali ke fitrah? Atau hanya kembali kepada keserakahan dan keganasan yang lalu? Sudahkah bermaafan? Tuluskah kata maaf yang terucap? Entahlah, yang jelas, selepas kepergian Ramadhan, kita masih saja rela kembali membangun keributan sana sini. Seakan kita tak pernah bermaaf-maafan, seakan kita tak pernah lebaran, parahnya, seakan kita tak pernah menikmati Ramadhan.
Pertanyaannya kini, sukseskah kita dalam mensyukuri dan menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan kemarin? Sudahkah kita kembali ke fitrah? Atau hanya kembali kepada keserakahan dan keganasan yang lalu? Sudahkah bermaafan? Tuluskah kata maaf yang terucap? Entahlah, yang jelas, selepas kepergian Ramadhan, kita masih saja rela kembali membangun keributan sana sini. Seakan kita tak pernah bermaaf-maafan, seakan kita tak pernah lebaran, parahnya, seakan kita tak pernah menikmati Ramadhan.
Entahlah.
Apakah karena Rasulullah SAW sudah tidak hadir di tengah kita, lantas kita
secara konsisten masuk ke dalam kemelut perpecahan yang memalukan ini? Hanya
Allah yang mampu membolak-balik hati manusia.
Belakangan,
sering kita mendengar jargon-jargon kosong yang cukup memekakkan telinga.
Nyaring, nyaris tanpa isi. Kita sering berteriak tentang persatuan, kesatuan,
dan jargon-jargon lainnya. Nyatanya guncangan sosial itu kembali muncul
percik-perciknya. Selepas kepergian Ramadhan, prasangka mulai dipupuk kembali,
kesalahan-kesalahan kecil dicari-cari, dan kita kembali saling menggunjing menyuburkan
duri kebencian. Dengan itulah, kita diumpamakan oleh-Nya, seperti seseorang
yang memakan bangkai saudaranya sendiri. (Al-Hujurat: 12). Banggakah kita
dengan perumpamaan itu?
Kita sering
mengibaratkan sebuah organisasi dengan perumpamaan sebuah kapal. Maka,
Indonesia, sebagai organisasi terbesar (negara) bisa juga kita umpamakan dengan
sebuah kapal besar yang--katakanlah--memuat 100 orang penumpang. Kapal itu adalah kapal besar yang sedang berlayar ke
pulau kedamaian, kemajuan, prestasi dan segala idealita dalam berbangsa.
Bayangkan saja, jika 85 orang di atas kapal itu ribut dan berkelahi, mungkinkah
kapal berjalan dengan efektif? Bahkan bisa jadi kapal terancam retak, bocor dan
tenggelam. Banyak awak kapal yang seharusnya bahu membahu mendayung, mengibarkan
layar, dan membuang air-air yang masuk melalui celah-celah yang harus segera
diperbaiki malah berpaling dari tugasnya dan terlibat dalam pertikaian yang
membahayakan keamanan kapal tersebut.
Ya. Begitulah kiranya perumpamaan bangsa kita. Jika 85% masyarakat Indonesia adalah umat Islam, dan umat Islam kemudian menjadi komponen uatama bangsa yang paling kisruh (seperti saat ini) tentulah dampak buruknya akan menasional dan dirasakan oleh semua pihak, termasuk 15% saudara kita yang bukan Islam. Tentunya hal ini adalah hal yang sangat merugikan secara nasional. Kapal kemudian hilang kendali, tenaganya tidak lagi bekerja secara maksimal, dan pulau harapan itu tetap saja jauh dari harapan.
Ya. Begitulah kiranya perumpamaan bangsa kita. Jika 85% masyarakat Indonesia adalah umat Islam, dan umat Islam kemudian menjadi komponen uatama bangsa yang paling kisruh (seperti saat ini) tentulah dampak buruknya akan menasional dan dirasakan oleh semua pihak, termasuk 15% saudara kita yang bukan Islam. Tentunya hal ini adalah hal yang sangat merugikan secara nasional. Kapal kemudian hilang kendali, tenaganya tidak lagi bekerja secara maksimal, dan pulau harapan itu tetap saja jauh dari harapan.
Nampaknya
umat Islam gemar sekali bertengkar. Ada pola narasi baku yang menjerumuskan
kita ke dalam pertengkaran konyol. Polanya adalah, kita dipantik dengan
perkara-perkara kontroversial (khilafiyah) yang digelembungkan dan diruncingkan
oleh kecanggihan teknologi informasi. Dari situlah kita terjerembab dalam
kubangan silang pendapat yang tidak diimbangi dengan rasa kekeluargaan sesama
muslim. Kita mulai melihat saudara kita tidak lagi dengan kacamata aqidah, tapi
dengan kacamata politik yang penuh kepicikan dan persengketaan kepentingan.
Dalam dunia politik, pertikaian antar umat Islam mendapat pembenarannya secara historis. Ali ra vs Muawiyah ra, Revolusi Abbasiyah yang penuh darah, perang berkepanjangan antara Sunni dan Syiah, Saudi vs Iran, dan lain sebagainya, itu semua merupakan pembenaran yang--sadar atau tidak--sering kita amini. Jika demikian yang kita (umat Islam) kehendaki, niscaya bangsa ini tidak akan maju selangkah pun. Kita akan mundur sejauh 11 Abad menuju abad 10, dimana pertikaian antar umat Islam terjadi saat itu hanya karena persoalan cabang yang kontroversial (khilafiyah). Inginkah kita seperti Suriah? Di sana, musuh terbesar kaum muslimin adalah kaum muslimin itu sendiri. Na'udzubillah.
wikimedia.org
Dalam dunia politik, pertikaian antar umat Islam mendapat pembenarannya secara historis. Ali ra vs Muawiyah ra, Revolusi Abbasiyah yang penuh darah, perang berkepanjangan antara Sunni dan Syiah, Saudi vs Iran, dan lain sebagainya, itu semua merupakan pembenaran yang--sadar atau tidak--sering kita amini. Jika demikian yang kita (umat Islam) kehendaki, niscaya bangsa ini tidak akan maju selangkah pun. Kita akan mundur sejauh 11 Abad menuju abad 10, dimana pertikaian antar umat Islam terjadi saat itu hanya karena persoalan cabang yang kontroversial (khilafiyah). Inginkah kita seperti Suriah? Di sana, musuh terbesar kaum muslimin adalah kaum muslimin itu sendiri. Na'udzubillah.
wikimedia.org
Jadi,
tidakkah kita serius memaknai hadirnya Ramadhan? Atau kita telah melewatinya
begitu saja? Sudahkah kita adakan halal bi halal secara serius dan jujur antar
sesama umat Islam? Kenapa kita masih saja bertikai? Jangan-jangan ini adalah
adu domba pihak ketiga? Ah, rasanya kita lebih suka mencari kambing hitam
ketimbang memperbaiki diri sendiri. Kesimpulannya, jika kita serius memaknai
Ramadhan kemarin, harusnya manifestasi yang tercurahkan itu adalah gandrungnya
kita dalam usaha-usaha positif yang konstruktif, bukan destruktif, seperti
bertikai dan bercerai berai dengan saudara sebangsa, khususnya sesama umat
Islam itu sendiri. Jika kita bisa menikmati toleransi, bergandeng tangan,
berpelukan dengan saudara sebangsa yang berbeda agama, kenapa kita tidak bisa
berbuat hal serupa bersama saudara kita yang seiman? "Dan taatilah Allah
dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi
gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah. Sungguh, Allah beserta
orang-orang sabar." (Al-Anfal: 46)
Sampai
jumpa Ramadhan. Selamat datang tahun politik. Allahul Musta'an. Allahu A'lam.
_________
Penulis adalah ketua KAMMI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta periode 2017/2018
0 Response to "Ramadhan Pergi, Masih Jauh kah Persatuan?"
Posting Komentar