-->

Ramadhan Pergi, Masih Jauh kah Persatuan?

Oleh : Yusuf Mirza Afriandika


Ramadhan adalah nama salah satu bulan dalam hitungan kalender hijriyah, yang sistem kalenderisasinya mengacu pada peredaran bulan (qamariyah). Mengutip dari Qadhi Abu Bakr ibn al-Arabi, Hamza Yusuf menjelaskan bahwa rahasia umat Muslim memakai sistem kalender qamariyah, bukannya sistem kalender syamsiyah, adalah karena matahari, cahayanya, digunakan manusia untuk kepentingan duniawi, sementara bulan, sinarnya, digunakan untuk meniti kepentingan ukhrowi. Lantas Ramadhan menjadi puncak berseminya semangat "perburuan" keuntungan ukhrawi, motivasi yang datang memompa jiwa manusia secara ajaib untuk merindu-mengharap keindahan kampung halamannya di akhirat, yakni surga-Nya. Ya, secara temporal, Ramadhan menjadi pusat kegiatan spiritual umat Islam yang menakjubkan, yang sangat disedihkan kepergiannya oleh mereka yang benar-benar tajam keimanannya.

diningdfc.com
Kini Ramadhan telah pergi. Bagai rembulan yang menghilang disambut  mentari. Seakan kehidupan yang dominan berorientasi ukhrowi itu pergi, berganti kehidupan seperti biasanya yang penuh ambisi duniawi. Kepergiannya begitu menghantui, seiring dengan teringatnya kembali kita kepada segenap persoalan dunia yang hampir kita kesampingkan(?) di bulan mulia ini. 

Pertanyaannya kini, sukseskah kita dalam mensyukuri dan menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan kemarin? Sudahkah kita kembali ke fitrah? Atau hanya kembali kepada keserakahan dan keganasan yang lalu? Sudahkah bermaafan? Tuluskah kata maaf yang terucap? Entahlah, yang jelas, selepas kepergian Ramadhan, kita masih saja rela kembali membangun keributan sana sini. Seakan kita tak pernah bermaaf-maafan, seakan kita tak pernah lebaran, parahnya, seakan kita tak pernah menikmati Ramadhan.
Entahlah. Apakah karena Rasulullah SAW sudah tidak hadir di tengah kita, lantas kita secara konsisten masuk ke dalam kemelut perpecahan yang memalukan ini? Hanya Allah yang mampu membolak-balik hati manusia.
Belakangan, sering kita mendengar jargon-jargon kosong yang cukup memekakkan telinga. Nyaring, nyaris tanpa isi. Kita sering berteriak tentang persatuan, kesatuan, dan jargon-jargon lainnya. Nyatanya guncangan sosial itu kembali muncul percik-perciknya. Selepas kepergian Ramadhan, prasangka mulai dipupuk kembali, kesalahan-kesalahan kecil dicari-cari, dan kita kembali saling menggunjing menyuburkan duri kebencian. Dengan itulah, kita diumpamakan oleh-Nya, seperti seseorang yang memakan bangkai saudaranya sendiri. (Al-Hujurat: 12). Banggakah kita dengan perumpamaan itu?
Kita sering mengibaratkan sebuah organisasi dengan perumpamaan sebuah kapal. Maka, Indonesia, sebagai organisasi terbesar (negara) bisa juga kita umpamakan dengan sebuah kapal besar yang--katakanlah--memuat 100 orang penumpang. Kapal itu  adalah kapal besar yang sedang berlayar ke pulau kedamaian, kemajuan, prestasi dan segala idealita dalam berbangsa. Bayangkan saja, jika 85 orang di atas kapal itu ribut dan berkelahi, mungkinkah kapal berjalan dengan efektif? Bahkan bisa jadi kapal terancam retak, bocor dan tenggelam. Banyak awak kapal yang seharusnya bahu membahu mendayung, mengibarkan layar, dan membuang air-air yang masuk melalui celah-celah yang harus segera diperbaiki malah berpaling dari tugasnya dan terlibat dalam pertikaian yang membahayakan keamanan kapal tersebut. 

Ya. Begitulah kiranya perumpamaan bangsa kita. Jika 85% masyarakat Indonesia adalah umat Islam, dan umat Islam kemudian menjadi komponen uatama bangsa yang paling kisruh (seperti saat ini) tentulah dampak buruknya akan menasional dan dirasakan oleh semua pihak, termasuk 15% saudara kita yang bukan Islam. Tentunya hal ini adalah hal yang sangat merugikan secara nasional. Kapal kemudian hilang kendali, tenaganya tidak lagi bekerja secara maksimal, dan pulau harapan itu tetap saja jauh dari harapan.
Nampaknya umat Islam gemar sekali bertengkar. Ada pola narasi baku yang menjerumuskan kita ke dalam pertengkaran konyol. Polanya adalah, kita dipantik dengan perkara-perkara kontroversial (khilafiyah) yang digelembungkan dan diruncingkan oleh kecanggihan teknologi informasi. Dari situlah kita terjerembab dalam kubangan silang pendapat yang tidak diimbangi dengan rasa kekeluargaan sesama muslim. Kita mulai melihat saudara kita tidak lagi dengan kacamata aqidah, tapi dengan kacamata politik yang penuh kepicikan dan persengketaan kepentingan. 

Dalam dunia politik, pertikaian antar umat Islam mendapat pembenarannya secara historis. Ali ra vs Muawiyah ra, Revolusi Abbasiyah yang penuh darah, perang berkepanjangan antara Sunni dan Syiah, Saudi vs Iran, dan lain sebagainya, itu semua merupakan pembenaran yang--sadar atau tidak--sering kita amini. Jika demikian yang kita (umat Islam) kehendaki, niscaya bangsa ini tidak akan maju selangkah pun. Kita akan mundur sejauh 11 Abad menuju abad 10, dimana pertikaian antar umat Islam terjadi saat itu hanya karena persoalan cabang yang kontroversial (khilafiyah). Inginkah kita seperti Suriah? Di sana, musuh terbesar kaum muslimin adalah kaum muslimin itu sendiri. Na'udzubillah.

wikimedia.org
Jadi, tidakkah kita serius memaknai hadirnya Ramadhan? Atau kita telah melewatinya begitu saja? Sudahkah kita adakan halal bi halal secara serius dan jujur antar sesama umat Islam? Kenapa kita masih saja bertikai? Jangan-jangan ini adalah adu domba pihak ketiga? Ah, rasanya kita lebih suka mencari kambing hitam ketimbang memperbaiki diri sendiri. Kesimpulannya, jika kita serius memaknai Ramadhan kemarin, harusnya manifestasi yang tercurahkan itu adalah gandrungnya kita dalam usaha-usaha positif yang konstruktif, bukan destruktif, seperti bertikai dan bercerai berai dengan saudara sebangsa, khususnya sesama umat Islam itu sendiri. Jika kita bisa menikmati toleransi, bergandeng tangan, berpelukan dengan saudara sebangsa yang berbeda agama, kenapa kita tidak bisa berbuat hal serupa bersama saudara kita yang seiman? "Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah. Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar." (Al-Anfal: 46)

Sampai jumpa Ramadhan. Selamat datang tahun politik. Allahul Musta'an. Allahu A'lam.
_________
Penulis adalah ketua KAMMI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta periode 2017/2018

0 Response to "Ramadhan Pergi, Masih Jauh kah Persatuan?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel