Peran Perempuan dalam Mengembangkan Dakwah Islam
April 19, 2018
Add Comment
Oleh :Hidayah Hariani
lisda/unsplash
Diskursus
perempuan dalam Islam mendapat
perhatian yang sangat serius. Peran dan fungsi perempuan menjadi pokok perhatiannnya. Karena pada dasarnya perempuan dan laki-laki
dalam pandangan Islam didudukan secara sama dalam hukum[1].
Akan tetapi dalam perspektif yang lain
perempuan didudukan sebagai obyek yang harus dipimpin
laki-laki.[2]
Namun, bukan berarti perempuan tak mendapat kedudukan yang
layak. Perempuan dalam batasan
tertentu malah menjadi
sebuah tonggak negara, dengan peran sertanya dalam mendidik
keturunannya.[3]
Perempuan juga menempati diri sebagai sang
pengayom bagi siapa saja, sehingga
dapat memberikan ketenangan dan kebahagiaan. Ungkapan
ini sangat populer lewat sebuah hadits yang mengatakan, "surga di bawah telapak kaki ibu".[4] Sementara saat ini isu sentral yang dihadapi
oleh kaum perempuan adalah masalah ketidakadilan gender terhadapnya. Hal
tersebut karena adanya produk pemikiran Hukum Islam[5],
baik yang terdapat didalam kitab-kitab Fiqh
klasik[6]
maupun tafsir klasik mengandung
ketidakadilan gender.
Namun ada saja yang masih memosisikan perempuan
sebagai makhluk yang lemah dan melarangnya beraktivitas di luar rumah dengan
dalih bahwa perempuan ke mana pun pergi
harus disertai dengan mahram walaupun untuk keperluan menuntut ilmu sekalipun.
Di sisi lain ada juga yang berpandangan bahwa perempuan tidak boleh bekerja
tetapi sebaiknya berada di rumah untuk mengurus rumah dan mendidik anak.
Sehingga terjadi disharmoni serta ketiakadilan gender di dalam rumah tangga
yang dapat menyebabkan perceraian antara kedua belah pihak.
Asal usul ketidakadilan gender didalam Hukum
Islam tersebut terletak pada kontradiksi-kontradiksi dari dalam (inner contradiction) antara cita-cita Syari’ah8 dan norma-norma
sosial budaya yang ada didalam budaya masyarakat Muslim. Sementara yang pertama
mengajak kepada kebebasan, keadilan dan kesetaraan, norma-norma, dan struktur
sosial masyarakat muslim pada masa pertumbuhan menghalangi realisasi cita-cita
tersebut.
Kedudukan
Perempuan menurut Hukum Islam
Kedudukan seseorang baik perempuan maupun
laki-laki tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan baik kalau tidak jelas
kedudukan orang yang bersangkutan dalam suatu pola kehidupan tertentu, sebab
kedudukan adalah tempat yang diduduki oleh seseorang dalam pola tertentu itu.
Seseorang mungkin saja mempunyai berbagai kedudukan, karena ia ikut serta dalam
berbagai pola kehidupan masyarakat. Hal ini berarti bahwa kedudukan menunjuk
pada tempat seseorang dalam kerangka masyarakat secara keseluruhan. Setiap
manusia yang menjadi anggota masyarakat, senantiasa mempunyai kedudukan
tertentu dan berperan sesuai dengan kedudukannya. Kedudukan dan peranan tidak
mungkin dipisahkan, karena peranan adalah aspek dinamis dari kedudukan. Tidak
ada peranan tanpa kedudukan dan tidak ada kedudukan tanpa peranan yang
memberikan hak dan kewajiban kepada orang yang bersangkutan. Untuk menentukan
hak dan kewajiban seorang perempuan, terlebih dahulu harus dikaji kedudukannya.[7]
Fakta sejarah menunjukkan bahwa secara umum
kondisi perempuan pada pra-lslam adalah suram. Pada masa itu perempuan yang
mempunyai jasa melahirkan manusia di dunia ini dihina, diperlakukan kasar dan
direndahkan martabatnya. Kedatangan Islam menyebabkan kedudukan dan martabat
perempuan sama dan sejajar dengan kaum pria. Dalam masyarakat Islam, perempuan
mempunyai kedudukan penting yang tidak pernah ada sebelumnya. Hal itu
disebabkan karena Islam datang dengan membawa prinsip-prinsip persamaan di
antara seluruh umat manusia, termasuk persamaan antara laki-laki dengan
perempuan.[8]
Dalam sejarah Islam
cukup banyak perempuan yang ahli di berbagai disiplin ilmu. Sebagai contoh
misalnya Khadijah binti Khuwailid (wafat tahun 619 M). Selain sebagai isteri
Rasulullah, beliau juga seorang pedagang ulung pada zamannya; Fatimah binti
Rasulullah saw (605 M-633 M), beliau adalah orator ulung dan pernah terjun ke
dunia politik dan mencalonkan Ali bin Abi Thalib (suaminya) untuk menjadi
khalifah pertama; 'Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq (613-678), selain sebagai
isteri Rasulullah, Aisyah
juga seorang ilmuwan dan
politisi. Sebagai ilmuwan, beliau meriwayatkan Hadits sebanyak 2210 buah, dan
sebagai politisi, beliau pernah menjadi komandan tertinggi dalam perang Jamal
(Perang Unta); Sayyidah, ibu kandung Khalifah al-Muqtadir yang memerintah pada
tahun 908-932 M.

[1]
Al-Qur’an Surah An-Nisa’ ayat 1,
“ Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada
Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri dan dari padanya. Allah menciptakan istrinya dan daripada
keduanya lahir menyebarlah banyak laki-laki dan perempuan“.
[4]الجنة تحت أقدام الأمهات Lihat : Jalaluddin al-Suyuthi, Shahih wa Dla’if al-Jami’ al-Shaghir,
(Hadits No. 6412, Maktabah Syamilah)
[5]Ada beberapa cara dan
tawaran tentang pemikiran Hukum Islam, di Indonesia setidaknya mengenal lima
konsep Hukum Islam. Pertama, Pemikiran Hukum Islam Hasbi Ash-Shiddieqy (1905-1975). Kedua, Fiqh Madzhab
Nasional/Madzhab Indonesia Hazairin
(1906-1975). Ketiga, reaktualisasi/kontekstualisasi pemikiran hukum Islam
[6] Diantara
aliran Fiqh Klasik yang ada berasal dari Kuffah
dan Basrah di Iraq dan juga aliran-aliran yang berkembang di Makkah, Madinah (Hijaz) dan Syiria. Ini
kemudian yang dikenal dengan Madzhab (Safii’i,
Maliki, Hanafi dan Hambali). Pengetahuan hukum klasik kuffah dan Madinah
lebih lengkap dibandingkan dengan para ‘Ulama Bashrah dan Makkah. Namun aliran
Makkah memiliki ciri yang tipikal. Sementara di Mesir terpengaruh oleh aliran
dari Madinah. Adapun perbedaan diantara aliran itu disebabkan karena faktor
geografis, kondisi sosial, dan juga kebiasaan adat. Jadi perbedaan yang muncul
diantara mereka bukanlah disebabkan oleh ketidak sepakatan tentang prinsip dan
metode. ( Joseph Schacht, an introduction
to Islamic law, Oxford University Press, London 1965, diterjemahkan oleh
Joko Supomo, Pengantar Hukum Islam,
Yogyakarta, Islamika, 2003 hal. 48)
[7]Mohammad Daud Ali dan
Habibah Daud, "Lembaga-lembaga Islam di Indonesia", (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1995), hal. 195-196.
[8]
Haifaa A. Jawad, "Otentisitas Hak-hak Perempuan, Perspektif Islam Atas Kesetaraan
Jender", diterjemahkan Oleh Anni Hidayatun Noor, Sulhani Hermawan dan
H. Badrian, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hal. l.
*Penulis merupakan kader
KAMMI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
angkatan Safful Fatih dan Konsen di isu Keislaman dan gender
Tulisan ini Pernah dimuat di KAMEDIA edisi III/ April-Maret 2018
KAMMI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
angkatan Safful Fatih dan Konsen di isu Keislaman dan gender
Tulisan ini Pernah dimuat di KAMEDIA edisi III/ April-Maret 2018
0 Response to "Peran Perempuan dalam Mengembangkan Dakwah Islam"
Posting Komentar