MENARI DIATAS NEGERI BEBEK
November 05, 2015
Add Comment
Tak ada yang mau menyentuh murka-Mu, aku berlari merindu nikmat
surga-Mu. Biarkan aku menari di lereng surga-Mu ini. Anak tangga-Mu begitu indah,
setiap ruas anaknya membawa berkah. Sungguh surga-Mu sarat akan makna, aku
jadi belajar bagaimana air yang pasrah mengalir hingga mendesir, dan pohon yang
pasrah diterpa angin hingga bergemuruh, semua berjalan ritmis terlebur menjadi
simfoni alam surga-Mu itu. Oh Tuhan, aku sukar menepi akan masalah teka-teki-Mu.
Ijinkanku terus menari biarku sentuh sejenak nikmat surga-Mu ini.
Aku masih menari
berputar-putar diatas sepetak jalan lereng bukit, biar sejenak kulupakan rasa
sakit. Petani mulai menghilang semenjak mega merah memendar, tapi aku tetap
menari. Hanya bi Ame yang tersisa disawah, mendekatiku dan menatapku. Mulutnya
bersungut sembari mengipas-kipaskan capingnya pada peluh yang keluar. Dia
memintaku untuk segera pulang karena sebentar lagi petang. Aku acuh akan ucapan
bi Ame dan aku terus berputar. “Apa yang kau tunggu Aim, kau fikir dengan
berputar-putar dapat menyibak masalahmu. Berfikirlah jernih, dunia ini begitu
indah jika untuk kau sesali”, begitu gertak halus bi Ame. Kakiku terserimpung,
aku tersungkur diam dan membisu, oh tuhan dunia yang gempita kenapa menjadi
gulita. Bi Ame menitahku yang sempoyongan lalu berjalan pulang.
***
Pagi itu aku berangkat
sekolah bersama abah, dia mengantarkanku sampai gerbang sekolah. “Belajar yang
serius Aim, kejar cita-citamu” kemudian menciumku, seperti biasa sebuah sandi
yang Abah beri sebelum kakiku melangkah pergi. Kemudian Abah berangkat kerja, tangan
Abah yang melambai-lambai hanya terlihat jari-jarinya yang tenggelam oleh kaca
mobil. Aku memang anak desa, perawakanku pun berbau kampung, tapi aku cukup
disegani di SMPN 1 yang terkenal elit
ini. Semua itu tidak lain karena pangkat Abahku.
Bisa dibilang Abahku
adalah orang sukses di desa banyu warna. Berkat kegigihan dan kerja kerasnya
semasa muda ditambah pancaran kharismatik, kini Abah dipercayai menjadi anggota
yang menampung aspirasi rakyat tingkat provinsi. Bukan hanya itu, Abah juga
memulai membuka usaha kafe di seberang kota. Memang sudah menjadi garis rezeki
untuk keluargaku. Aku anak semata wayang, tidak heran jika sejak kecil
orangtuaku tidak pernah membuatku sedih hanya karena menunda membelikan barang
yang aku ingin. Beda dengan anak rumah sebelah, untuk meminta mainan kembang
api saja harus merengek bergusaran di tanah.
Namun Abah adalah orang
yang fanatik akan pelajaran, dia menuntutku untuk terus mempertahankan
peringkat satu. Ayah mencukupi semua kebutuhan yang menunjang proses belajarku,
mulai dari gadget, laptop, komputer, handphone, dan buku-buku fiksi ataupun non
fiksi. Semua lengkap, bahkan suatu kegiatan wajib setiap minggu ayah mengajakku
ke toko buku tengah Kota. Tidak ada lagi yang dapat meragukan semangatku belajar.
***
“bi Ame aku ikut”, teriakku sambil terpincing mengejar bi Ame yang
berjalan didepan rumah. “Jangan ikut Aim, nanti kulitmu jadi hitam” jawabnya.
“Ah nggak papa bi, aku ingin melihat sawah”, jelasku. Lalu bi Ame memberikan
caping yang dia kenakan kepadaku. “Hehe Aim jadi lucu ya bi”. Bi Ame hanya
tersenyum dan menyirkap rambutnya yang terhempas angin. Matanya sayup tersergap
terik matahari. Aku menyusuri sepetak ruas jalan kesawah. Sawah bi Ame berada di
anak tangga kelima dari sengkedan lereng ini. Tadinya aku ingin ikut membantu bi Ame memupuk padi yang setengah panen, tapi bi Ame melarang keras. Mungkin bi Ame tidak tega kepadaku. Jadi aku hanya duduk termenung. Betapa indah ciptaan-Mu Tuhan, subhanallahu wanikmal wakil nikmal maulahi wannikman nasir. Kalau
begini, tidaklah ada alasan untuk melalai bersyukur.
“Biasanya siang gini aku nonton TV bi, tapi semenjak tadi malam Abah
melarangku menyalakan TV katanya biar aku lebih serius belajar”, aku memulai
cerita ke bi Ame, kakiku menjuntai di sungai kecil pengairan sawah dan mataku
terbelak menikmati keindahan.”Ya sudah bagus dong Aim, Aim harus belajar yang
rajin jadilah seperti Abahmu atau paling enggak seperti bang Ahmu”, jawab bi Ame sambil mencabuti rumput yang tumbuh disela helai padi. Aku menghela nafas,
kakiku mencepuk-cepuk air. Tiba-tiba bi Ame membuka cerita tentang anaknya bang Ahmu, ternyata pertanyaanku tadi memancing bi Ame yang ku kenal pendiam. Aku
mendongak dan tertawa tanpa suara melihat bi Ame berbicara, air liurnya
meletup-letup diatas bibirnya yang kering dan wajahnya bermandikan peluh.
Meskipun bang Ahmu bukanlah anak satu-satunya namun bukan berarti
bang Ahmu jarang bi Ame rindukan, bi Ame bercerita alur hidup anak sulungnya
itu. Dahulu rumahnya bukanlah bertembok, bukan juga berubin, atap gentingnya
pecah dan berlubang, tak ayal kalau terjadi hujan lantainya pun becek, pagarnya
mendoyong kekanan jika ada hujan disertai badai keluarganya hanya bisa pasrah
diemperan rumah, jika pagarnya tak mampu lagi berdiri miring maka keluarganya
sudah terkesiap untuk menyelamatkan diri.
Sebenarnya bang Ahmu dahulu pengagum Abahku, dia terinspirasi dari
Abah kemudian berambisi besar. Karena sosoknya yang ulet, dia mampu bertanggung
jawab atas ambisinya. Hidupnya serba keterbatasan, fasilitas belajarpun
terbatas, boro-boro gadget atau semacam alat elektronik yang menopangnya
belajar, kertas saja harus mengumpulkan sisa-sisa buku. Tak ayal Abahku sering memberikan
selusin buku. Abahku iba mengetahui kegigihannya. Dari itu, bertambah
semangatlah dia. Bukan sekedar belajar siang, malam, dan dini hari, bang Ahmu
pun tekun dalam hal beribadah. Nyaris puasa senin-kamis tak pernah ia tinggalkan. Bang Ahmu juga anak pekrja keras, dia sering ikut memanen padi warga petani. Suatu
yang lebih mengharukan yaitu ketika hasil bekerjanya, dia sisihkan untuk membantu
fakir. Katanya, dalam rezeki yang Tuhan beri terdapat hak rezeki orang lain.
Pesan yang dia dapat dari Ustadznya seperti mendengung ditelinga dan harus
segera diamalkan. Setelah lulus Sekolah Dasar, bi Ame tidak pernah membiayai
bang Ahmu lagi, bukan karena dia berhenti sekolah, tetapi karena dia mendapat
biaya sekolah di SMPN 1 yang aku tempati. Keberuntungan menimpalnya, hingga S2
di UI dia terus mendapat beasiswa. Nasib bang Ahmu kini lebih mujur melebihi Abahku.
Abahpun menjadi terkesima dengan bang Ahmu, mungkin dari itu ayah memasukan ku
disekolah elit itu.
Aku mengangguk dan hanyut dalam cerita bi Ame yang panjang lebar.
Satu pertanyaanku, dimanakah bang Ahmu sekarang?. Abah tidak pernah
menceritakan sedikitpun tentang bang Ahmu, mungkin karena kesibukan Abah sehingga
belum sempat. “bang Ahmu sekarang sukses dan sudah berkerja di salah satu
instansi di Ibu Kota, dia pulang kalau lebaran. Aku bersyukur Aim, dikaruniai
anak yang bisa mengangkat derajat dan martabat orang tua.”, ujar bi Ame
tersenyum, matanya mengembang cairan. “Terus kenapa bi Ame masih bertani. Tidak
salahkan sebagai Ibu, bi Ame tinggal meminta anaknya yang sukses?”, tukasku
tidak terima melihat anak yang membiarkan Ibunya berkerja keras. Lagi-lagi bi Ame tersenyum merangkulku dan berbisik. “Ssst sudah, tidak ada sisi kedurhakaan
dari bang Ahmu terhadap bibi. Sebenarnya Ahmu sudah memberikan itu semua,
bahkan menawarkan tinggal di rumah megahnya di Jakarta, tapi bibi menolak.
Rasanya sia-sia membiarkan surga alam ini begitu saja, bibi tidak suka
berpangku tangan selagi masih bertenaga. Makanya Aim yang semangat ya seperti
bang Ahmu”, ujar bi Ame sambil menepuk pipiku. Kami berjalan pulang, karena
hari mulai petang. Aku menarik ilalang dan menggelitikan ke leher bi Ame
sepanjang ruas jalan. Nampak bi Ame merasa geli.
***
Sudah beberapa hari Abah tidak pulang, kata Ami sedang ada banyak
pekerjaan diluar kota. Abah menghubungiku dan berpesan agar rajin belajar dan
selalu beribadah. Malam ini ku catat mimpi-mimpiku disecarik kertas dan ku
tempelkan ke dinding kamarku. Mimpiku kali ini ingin menjadi seorang enterpreneur
muslimah yang sukses. Aku juga
menulisnya di buku harianku, kata Abah sekecil apapun mimpiku harus segera
dieksekusi. Setiap miracle hidupku menjadi lembaran kisah dalam buku harianku.
Begitu siasat yang Abah ajarkan. Aku jadi rindu gerilya Abah, aku ingin
bertanya tentang Abah dan bang Ahmu waktu mereka dahulu.
Minggu ini hanya dengan Ami aku ke toko buku. Aku sengaja memilih
buku “Sukses menjadi Preneur” yang sebenarnya bukan untuk seusiaku. Tapi tak
apa, sedikit aku ingin mengetahuinya. Pengusaha itu harus bisa gali lubang
tutup lubang, begitu salah satu sub judul yang membuatku tertarik.
***
Suatu pagi kutemui mata Ami yang sembab ketika menyiapkan sarapan
pagi. Aku pikir ada masalah yang krusial, semenjak hidup aku tidak pernah
mendapati raup sesedih ini. Aku mencoba bertanya, tapi Ami mengira menangis
karena mengupas bawang ketika memasak. Hah, konyol aku tidak percaya. Tapi
sudahlah, biarkan ami meluapkan kepedihannya hingga tak menyisa, aku ingin
berangkat sekolah. Ibu mengantarku sampai gerbang sekolah, dan memberiku
kecupan, matanya menganak sungai tapi masih bungkam.
Almanak hari ini seperti hari bisu sedunia sampai siang ini tidak
juga ada yang mengajakku bicara, saat pelajaran Ibu gurupun tak banyak
menerangkan. Aku berjalan pulang, kakiku menyepak dedaunan kering yang
berserak. Hari yang membosankan.
Ami sudah menungguku di mobil depan gerbang sekolah. Dengan lunglai
aku masuk mobil, aku jadi bisu. Ditengah perjalanan aku muak, “Ini hari apa sih
mi, Ami diam, teman diam, semua manusia diam dan hanya memandangku tak sedap.
Kenapa Ami tidak pernah ngasih tahu tentang hari bisu seduni ?”, aku berteriak
menangis pelan dan menggigit-gigit kerudungku.
Sesampai rumah Ami mengabarkan semalam ada tamu tak diundang
bertandang kerumah dan memberi tahu jika Abah tidak bisa pulang dulu. Abah
sedang menemui bang Ahmu ditempat kerjanya, dan bang Ahmu memberikan sebuah
hadiah kaus untuk Ayah. Konon kaus itu berwarna oren yang terkenal mahal
sedunia, iya kaus itu bersablonkan “Tahanan KPK”
***
Aku marah kesal, surga ini berdentam melaknat perlakuan Abahku yang kejam.
Ternyata ini alasan abah melarangku menonton TV. Ternyata Abah yang selama ini
begitu PD tersenyum didepan layar TV ketika sedang diintrogasi. Jadi ini
realita tentang gali lubang tutup lubang. Ah buntung, negara ini begitu kuat
dipimpin oleh lengan-lengan buntung seperti Abahku. Raib sudah, biarkanku menari
diatas NEGERI BEBEK MU yang indah akan misteri.Karya : Ridwan Muhajir, Jurusan Muamalat: 2013, Fakultas Syari'ah dan Hukum.
0 Response to "MENARI DIATAS NEGERI BEBEK"
Posting Komentar