-->

MENARI DIATAS NEGERI BEBEK







Tak ada yang mau menyentuh murka-Mu, aku berlari merindu nikmat surga-Mu. Biarkan aku menari di lereng surga-Mu ini. Anak tangga-Mu begitu indah, setiap ruas anaknya membawa berkah. Sungguh surga-Mu sarat akan makna, aku jadi belajar bagaimana air yang pasrah mengalir hingga mendesir, dan pohon yang pasrah diterpa angin hingga bergemuruh, semua berjalan ritmis terlebur menjadi simfoni alam surga-Mu itu. Oh Tuhan, aku sukar menepi akan masalah teka-teki-Mu. Ijinkanku terus menari biarku sentuh sejenak nikmat surga-Mu ini.
            Aku masih menari berputar-putar diatas sepetak jalan lereng bukit, biar sejenak kulupakan rasa sakit. Petani mulai menghilang semenjak mega merah memendar, tapi aku tetap menari. Hanya bi Ame yang tersisa disawah, mendekatiku dan menatapku. Mulutnya bersungut sembari mengipas-kipaskan capingnya pada peluh yang keluar. Dia memintaku untuk segera pulang karena sebentar lagi petang. Aku acuh akan ucapan bi Ame dan aku terus berputar. “Apa yang kau tunggu Aim, kau fikir dengan berputar-putar dapat menyibak masalahmu. Berfikirlah jernih, dunia ini begitu indah jika untuk kau sesali”, begitu gertak halus bi Ame. Kakiku terserimpung, aku tersungkur diam dan membisu, oh tuhan dunia yang gempita kenapa menjadi gulita. Bi Ame menitahku yang sempoyongan lalu berjalan pulang.
***
            Pagi itu aku berangkat sekolah bersama abah, dia mengantarkanku sampai gerbang sekolah. “Belajar yang serius Aim, kejar cita-citamu” kemudian menciumku, seperti biasa sebuah sandi yang Abah beri sebelum kakiku melangkah pergi. Kemudian Abah berangkat kerja, tangan Abah yang melambai-lambai hanya terlihat jari-jarinya yang tenggelam oleh kaca mobil. Aku memang anak desa, perawakanku pun berbau kampung, tapi aku cukup disegani di SMPN 1  yang terkenal elit ini. Semua itu tidak lain karena pangkat Abahku.
            Bisa dibilang Abahku adalah orang sukses di desa banyu warna. Berkat kegigihan dan kerja kerasnya semasa muda ditambah pancaran kharismatik, kini Abah dipercayai menjadi anggota yang menampung aspirasi rakyat tingkat provinsi. Bukan hanya itu, Abah juga memulai membuka usaha kafe di seberang kota. Memang sudah menjadi garis rezeki untuk keluargaku. Aku anak semata wayang, tidak heran jika sejak kecil orangtuaku tidak pernah membuatku sedih hanya karena menunda membelikan barang yang aku ingin. Beda dengan anak rumah sebelah, untuk meminta mainan kembang api saja harus merengek bergusaran di tanah.
            Namun Abah adalah orang yang fanatik akan pelajaran, dia menuntutku untuk terus mempertahankan peringkat satu. Ayah mencukupi semua kebutuhan yang menunjang proses belajarku, mulai dari gadget, laptop, komputer, handphone, dan buku-buku fiksi ataupun non fiksi. Semua lengkap, bahkan suatu kegiatan wajib setiap minggu ayah mengajakku ke toko buku tengah Kota. Tidak ada lagi yang dapat meragukan semangatku belajar.
***
        “bi Ame aku ikut”, teriakku sambil terpincing mengejar bi Ame yang berjalan didepan rumah. “Jangan ikut Aim, nanti kulitmu jadi hitam” jawabnya. “Ah nggak papa bi, aku ingin melihat sawah”, jelasku. Lalu bi Ame memberikan caping yang dia kenakan kepadaku. “Hehe Aim jadi lucu ya bi”. Bi Ame hanya tersenyum dan menyirkap rambutnya yang terhempas angin. Matanya sayup tersergap terik matahari. Aku menyusuri sepetak ruas jalan kesawah. Sawah bi Ame berada di anak tangga kelima dari sengkedan lereng ini. Tadinya aku ingin ikut membantu bi Ame memupuk padi yang setengah panen, tapi bi Ame melarang keras. Mungkin bi Ame tidak tega kepadaku. Jadi aku hanya duduk termenung. Betapa indah ciptaan-Mu Tuhan, subhanallahu wanikmal wakil nikmal maulahi wannikman nasir. Kalau begini, tidaklah ada alasan untuk melalai bersyukur.
        “Biasanya siang gini aku nonton TV bi, tapi semenjak tadi malam Abah melarangku menyalakan TV katanya biar aku lebih serius belajar”, aku memulai cerita ke bi Ame, kakiku menjuntai di sungai kecil pengairan sawah dan mataku terbelak menikmati keindahan.”Ya sudah bagus dong Aim, Aim harus belajar yang rajin jadilah seperti Abahmu atau paling enggak seperti bang Ahmu”, jawab bi Ame sambil mencabuti rumput yang tumbuh disela helai padi. Aku menghela nafas, kakiku mencepuk-cepuk air. Tiba-tiba bi Ame membuka cerita tentang anaknya bang Ahmu, ternyata pertanyaanku tadi memancing bi Ame yang ku kenal pendiam. Aku mendongak dan tertawa tanpa suara melihat bi Ame berbicara, air liurnya meletup-letup diatas bibirnya yang kering dan wajahnya bermandikan peluh.
        Meskipun bang Ahmu bukanlah anak satu-satunya namun bukan berarti bang Ahmu jarang bi Ame rindukan, bi Ame bercerita alur hidup anak sulungnya itu. Dahulu rumahnya bukanlah bertembok, bukan juga berubin, atap gentingnya pecah dan berlubang, tak ayal kalau terjadi hujan lantainya pun becek, pagarnya mendoyong kekanan jika ada hujan disertai badai keluarganya hanya bisa pasrah diemperan rumah, jika pagarnya tak mampu lagi berdiri miring maka keluarganya sudah terkesiap untuk menyelamatkan diri.
       Sebenarnya bang Ahmu dahulu pengagum Abahku, dia terinspirasi dari Abah kemudian berambisi besar. Karena sosoknya yang ulet, dia mampu bertanggung jawab atas ambisinya. Hidupnya serba keterbatasan, fasilitas belajarpun terbatas, boro-boro gadget atau semacam alat elektronik yang menopangnya belajar, kertas saja harus mengumpulkan sisa-sisa buku. Tak ayal Abahku sering memberikan selusin buku. Abahku iba mengetahui kegigihannya. Dari itu, bertambah semangatlah dia. Bukan sekedar belajar siang, malam, dan dini hari, bang Ahmu pun tekun dalam hal beribadah. Nyaris puasa senin-kamis tak pernah ia tinggalkan. Bang Ahmu juga anak pekrja keras, dia sering ikut memanen padi warga petani. Suatu yang lebih mengharukan yaitu ketika hasil bekerjanya, dia sisihkan untuk membantu fakir. Katanya, dalam rezeki yang Tuhan beri terdapat hak rezeki orang lain. Pesan yang dia dapat dari Ustadznya seperti mendengung ditelinga dan harus segera diamalkan. Setelah lulus Sekolah Dasar, bi Ame tidak pernah membiayai bang Ahmu lagi, bukan karena dia berhenti sekolah, tetapi karena dia mendapat biaya sekolah di SMPN 1 yang aku tempati. Keberuntungan menimpalnya, hingga S2 di UI dia terus mendapat beasiswa. Nasib bang Ahmu kini lebih mujur melebihi Abahku. Abahpun menjadi terkesima dengan bang Ahmu, mungkin dari itu ayah memasukan ku disekolah elit itu.
        Aku mengangguk dan hanyut dalam cerita bi Ame yang panjang lebar. Satu pertanyaanku, dimanakah bang Ahmu sekarang?. Abah tidak pernah menceritakan sedikitpun tentang bang Ahmu, mungkin karena kesibukan Abah sehingga belum sempat. “bang Ahmu sekarang sukses dan sudah berkerja di salah satu instansi di Ibu Kota, dia pulang kalau lebaran. Aku bersyukur Aim, dikaruniai anak yang bisa mengangkat derajat dan martabat orang tua.”, ujar bi Ame tersenyum, matanya mengembang cairan. “Terus kenapa bi Ame masih bertani. Tidak salahkan sebagai Ibu, bi Ame tinggal meminta anaknya yang sukses?”, tukasku tidak terima melihat anak yang membiarkan Ibunya berkerja keras. Lagi-lagi bi Ame tersenyum merangkulku dan berbisik. “Ssst sudah, tidak ada sisi kedurhakaan dari bang Ahmu terhadap bibi. Sebenarnya Ahmu sudah memberikan itu semua, bahkan menawarkan tinggal di rumah megahnya di Jakarta, tapi bibi menolak. Rasanya sia-sia membiarkan surga alam ini begitu saja, bibi tidak suka berpangku tangan selagi masih bertenaga. Makanya Aim yang semangat ya seperti bang Ahmu”, ujar bi Ame sambil menepuk pipiku. Kami berjalan pulang, karena hari mulai petang. Aku menarik ilalang dan menggelitikan ke leher bi Ame sepanjang ruas jalan. Nampak bi Ame merasa geli.
***
         Sudah beberapa hari Abah tidak pulang, kata Ami sedang ada banyak pekerjaan diluar kota. Abah menghubungiku dan berpesan agar rajin belajar dan selalu beribadah. Malam ini ku catat mimpi-mimpiku disecarik kertas dan ku tempelkan ke dinding kamarku. Mimpiku kali ini ingin menjadi seorang enterpreneur muslimah yang sukses.  Aku juga menulisnya di buku harianku, kata Abah sekecil apapun mimpiku harus segera dieksekusi. Setiap miracle hidupku menjadi lembaran kisah dalam buku harianku. Begitu siasat yang Abah ajarkan. Aku jadi rindu gerilya Abah, aku ingin bertanya tentang Abah dan bang Ahmu waktu mereka dahulu.
         Minggu ini hanya dengan Ami aku ke toko buku. Aku sengaja memilih buku “Sukses menjadi Preneur” yang sebenarnya bukan untuk seusiaku. Tapi tak apa, sedikit aku ingin mengetahuinya. Pengusaha itu harus bisa gali lubang tutup lubang, begitu salah satu sub judul yang membuatku tertarik.
***
        Suatu pagi kutemui mata Ami yang sembab ketika menyiapkan sarapan pagi. Aku pikir ada masalah yang krusial, semenjak hidup aku tidak pernah mendapati raup sesedih ini. Aku mencoba bertanya, tapi Ami mengira menangis karena mengupas bawang ketika memasak. Hah, konyol aku tidak percaya. Tapi sudahlah, biarkan ami meluapkan kepedihannya hingga tak menyisa, aku ingin berangkat sekolah. Ibu mengantarku sampai gerbang sekolah, dan memberiku kecupan, matanya menganak sungai tapi masih bungkam.
        Almanak hari ini seperti hari bisu sedunia sampai siang ini tidak juga ada yang mengajakku bicara, saat pelajaran Ibu gurupun tak banyak menerangkan. Aku berjalan pulang, kakiku menyepak dedaunan kering yang berserak. Hari yang membosankan.
         Ami sudah menungguku di mobil depan gerbang sekolah. Dengan lunglai aku masuk mobil, aku jadi bisu. Ditengah perjalanan aku muak, “Ini hari apa sih mi, Ami diam, teman diam, semua manusia diam dan hanya memandangku tak sedap. Kenapa Ami tidak pernah ngasih tahu tentang hari bisu seduni ?”, aku berteriak menangis pelan dan menggigit-gigit kerudungku.
        Sesampai rumah Ami mengabarkan semalam ada tamu tak diundang bertandang kerumah dan memberi tahu jika Abah tidak bisa pulang dulu. Abah sedang menemui bang Ahmu ditempat kerjanya, dan bang Ahmu memberikan sebuah hadiah kaus untuk Ayah. Konon kaus itu berwarna oren yang terkenal mahal sedunia, iya kaus itu bersablonkan “Tahanan KPK”
***
         Aku marah kesal, surga ini berdentam melaknat perlakuan Abahku yang kejam. Ternyata ini alasan abah melarangku menonton TV. Ternyata Abah yang selama ini begitu PD tersenyum didepan layar TV ketika sedang diintrogasi. Jadi ini realita tentang gali lubang tutup lubang. Ah buntung, negara ini begitu kuat dipimpin oleh lengan-lengan buntung seperti Abahku. Raib sudah, biarkanku menari diatas NEGERI BEBEK MU yang indah akan misteri.


Karya     : Ridwan Muhajir, Jurusan Muamalat: 2013, Fakultas Syari'ah dan Hukum.

0 Response to "MENARI DIATAS NEGERI BEBEK"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel