-->

PROBLEMATIKA NIKAH BEDA AGAMA

Oleh: Sulaiman Tahir

Nikah sebagai sebuah ritual yang oleh agama adalah merupakan hal yang suci dan sakral, menjadikannya sesuatu yang benar-benar ditata dan diatur sedemikian rupa proses-proses berlangsungnya, termasuk juga bagaimana rukun, syarat dan prosedur-prosedur lainnya yang terkait dengan itu. Sehingga ketentuan tentang sah tidaknya suatu pernikahan, menjadi hak prerogatif agama untuk mengaturnya. Indonesia sebagai sebuah negara hukum yang menjamin keberlangsungan beragama dan kebebasan setiap warganya dalam menjalankan agamanya, semestinya memosisikan diri sebagai fasilitator dan pendukung yang akan memudahkan para pemeluk agama untuk menjaga dan menjalankan keyakinan agamanya. Maka sudah semestinya dibuat undang-undang yang tegas dan jelas untuk mengatur bagaimana seharusnya seseoarang dalam mengamalkan ajaran agamanya, termasuk disini adalah tentang pernikahan.

Belakangan ini mencuat kembali ke permukaan diskursus terkait pernikahan, yaitu nikah beda agama, atau bisa juga disebut dengan nikah antar agama/lintas agama. Ini berawal dari aksi beberapa orang alunus dan mahasiswa UI yang nengajukan judicial riview ke MK terhadap UU No.1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1, tentang pernikahan.  Mereka menghendaki agar ada kepastian hukum yang jelas dan tegas tentang pernikahan, sebab dalam undang yang ada yang mengatur pernikahan itu, tidak memiliki kepastian dan kejelasan hukum. Point terpentingnya adalah agar dibenarkannya nikah antar agama. 

Jika kita melihat UU No.1 tahun 1974, pasal 2 ayat 1 itu pun sebenarnya dapat menimbulkan beberapa penafsiran. UU itu mengatakan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dan pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya. Secara garis besar, saya dapat menarik dua pemahaman atas UU ini, yaitu; pertama, pernikahan tidak dapat dilakukan oleh dua mempelai yang berbeda agamanya, karna dalam undang-undang dikatakan bahwa pernikahan harus dilakukan berdasarkan keayakinan agamanya dan kepercayaannya. Artinya bahwa jika aturan agamanya melarang nikah beda agama, maka pernikahan beda agama yang hendak dilakukan itu, batal pula di mata hukum. Maka, pernikahan yang sah menurut agama, maka sah pula menurut UU perkawinan. Sehingga instansi seperti KUA dan juga Kantor Catatan Sipil harus menolak permohonan perkawinan beda agama berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f UU No. 1/1974. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa enam agama yang diakui di Indonesia, yaitu Katholik, protestan, hindu, budha, konghucu dan Islam [1] melarang nikah beda agama bagi umatnya. Sebab pernikahan –sebagaimana yang telah saya sebutkan di depan- adalah merupakan proses sakral dan dilakukan dengan upacara agama, karna nikah adalah domain agama, sehingga memang harus sesuai agama. Konsekuensinya sekali lagi adalah bahwa negara harus hanya mengakui dan mencatatkan pernikahan yang sudah dianggap sah oleh agama, jika agama tidak mengesahkan, maka negara tidak boleh mengesahkan.

Yang kedua, pernikahan beda agama itu sama sekali tidak diatur dalam UU, kalau pun dalam undang-undang dianggap bahwa diatur berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f UU No. 1/1974, tetap itu tidak bisa dianggap telah dengan tegas dan jelas mengatur nikah beda agama. kata ganti “nya” pada kalimat; “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya” tentu menimbulkan pertanyaan, “nya” yang dimaksud disini adalah siapa?, apakah “nya” adalah mempelai laki-laki, atau mempelai perempuan, atau agama pegawai instansi yang mengawinkan kedua mempelai, atau siapa? Ini kan masih remang-remang [2]. Bisa pula UU itu diartikan bahwa pernikahan beda agama itu boleh asalkan pernikahan dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing mempelai. Artinya pernikahan dilakukan dua kali, yaitu berdasarkan agama dan keayakinan agama mempelai laki-laki dan juga agama mempelai perempuan. Ini menunjukkan bahwa  UU kita mebenarkan adanya nikah beda agama. 

Ada pula hal yang menarik dalam UU kita, yaitu UU No.23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan, pasal 35 huruf a. Pasal tersebut berbunyi; “ pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dala pasal 34 berlaku pula bagi: perkawinan yang ditetyapkan olrh pengadilan”. Yang dimaksud “perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan” adalah perkawinan yang dilakuka antara uamat yang berbeda agama. Hal ini berarti Kantor Catatan Sipil boleh mencatat perkawinan beda agama yang telah mmendapat penetapan dari Pengadilan, dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan penetapan ke pengadilan negeri. Maka dengan adanya pasal 35 huruf a UU No.23 tahun 2006  dapat dikatakan bertentangan dengan UU No’1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1. Pertanyaannya adalah apakah negara ini melegalkan nikah beda agama ?



Wallahua’alam.

[1] Walau dalam Islam pun ada yang mengatakan kebolrhan nikah beda agama. namun MUI telah memutuskan bahwa nikah beda agama itu haram. Hal ini akan kita bahas pada paragraf yang lain.

[2] Ini seabagaimana argumentasi yang dikeluarkan oleh beberapa alumnus dan alumni UI yang mengajukan JS ke MK.

1 Response to "PROBLEMATIKA NIKAH BEDA AGAMA"

  1. Nice Post... Article yang sangat menarik dan bermanfaat.... teruslah berkarya dan hadrikan kembali postingan-postingan yang bermanfaat ya,,, Terima kasih
    Agen Judi Poker Dan Domino Online Terbaik

    BalasHapus

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel