PPAT DAN PAJAK PENGALIHAN HAK ATAS TANAH
April 21, 2015
2 Comments
Dosen Pengampu:
Ahmad Yubaidi
Rifqiya Hidayatul Mufidah (12360002)
Sulaiman Tahir (12360021)
Sidik Nurmanjaya (12360008)
Niratisai
Trihadi Prabowo (1236048)
JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang masalah
Indonesia adalah negara yang cukup luas daratannya, kita sering mendengar kata agraris yang meupakan julukan Indonesia. Dimana agraris ini juga menggambarkan bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang luas daratan serta kekayaan lahannya, disamping pengertian atau maksud yang lainnya.
Tanah adalah sesuatu yang menjadi hal yang penting bagi sebuah negara, termasuk Indonesia. Karena tanah menyangkut hak dan kewajiban seseorang serta hidup dan kehidupan individu atau orang banyak. Pengelolaan dan pengaturan terhadap masalah tanah menjadi suatu keniscayaan, mengingat betapa urgen-nya tanah ini. Dari sekian banyak aturan-aturan tentang tanah serta alat-alat yang mengatur dan mengelolahnya, ada satu hal yang tak kalah pentingnya, yaitu pembuatan akta tanah, sehingga ada namanya PPAT (Pejabat pembuat akta tanah). Berbicara masalah tanah, entah itu tentang hak ataupun kerwajiban atas tanah, maka tentu PPAT adalah bagian yang tak mungkin terlupakan dalam hal itu. Dia memegang peranan yang sangat penting.
Berbicara masalah hak atas tanah, maka ada hal yang juga tak bisa kita lupakan, yaitu pajak. Kita mungkin sering mendengar tentang pajak, bahkan bisa jadi kita adalah orang yang sering melakukan atau bersentuhan dengan perpajakan. Entah apakah karna kita punya sepeda motor, mobil, rumah, ataupun juga tanah. Ada hal yang penting kita ketahui dan kita pelajari tentang pajak ini, mengingat bahwa kita adalah mahasiswa syari’ah dan hukum. Yaitu tentang ‘pajak peralihan hak atas tanah’.
Dua hal ini; PPAT dan Pajak peralihan hak atas tanah, merupakan sesuatu yang sebenarnya saling berkaitan. Sehingga sangat prnting untuk kita ketahui. Maka penting untuk kita membahas dan mendiskusikan terkait dua hal itu.
B. Rumusan masalah
Untuk memudahkan titik fokus masalah yang ingin kita bahas pada makalah ini, maka kami membuat benerapa rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan, yaitu:
1. Apa yang dimaksud PPAT dan pajak pengalihan hak atas tanah ?
2. Apa fungsi, hak dan kewajiban PPAT ?
3. Apa saja ketentuan ketentuan yang berkaitan dengan PPAT serta apa konsekuensi hukum bagi PPAT ?
4. Darimana sumber aturan Pajak pengalihan hak atas tanah ?
5. Apa saja subjek pajak pengalihan atas tanah ?
6. Berapa tarif dan pengenaan pajak pafa PPh ?
7. Bagaimana penyetoran dan pemotongan pajaknya ?
C. Tujuan penulisan
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas pembuatan makalah pada mata kuliah hukum agraria, dengan materi tentang PPAT dan Pajak pengalihan hak atas tanah. Makalah ini juga dibuat untuk mendapatkan nilai kelompok pada pembuatan makalah.
D. Kegunaan
Hal-hal terkait masalah PPAT dan juga pajak pengalihan hak atas tanah adalah materi-materi yang menurut kami jarang sekali mau dibahas dikalangan mahasiswa. Jika pun dibahas, itu hanya dalam ruangan kelas dan juga ketika sedang berlangsung matakuliah yang membahas tentang itu. Padahal pembahsan terkait dua materi tadi sangat penting untuk kita diskusikan dan kita kaji bersama. Kami kira makalah ini bisa untuk menjadi alat bantu kita dalam mendiskusikan terkait masalah itu serta dapat menambah sedikit pengetahuan kita pada dua materi itu. Atau setidaknya dapat menjadi pembanding pada kenyaataan yang ada atau pada sumber-sumber yang lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PPAT
1. Definisi PPAT
Dalam pengelolaan bidang pertanahan di Indonesia, terutama dalam kegiatan pendaftaran tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), merupakan pejabat umum yang menjadi mitra instansi BPN guna membantu menguatkan/mengukuhkan setiap perbuatan hukum atas bidang tanah yang dilakukan oleh subyek hak yang bersangkutan yang dituangkan dalam suatu akta otentik. Secara normatif, PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik satuan rumah susun, atau membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang akan dijadikan dasar pendaftarannya (Pasal 1 angka 1 PP Nomor 37 Tahun 1998 jo. Pasal 1 angka 24 PP 24 Tahun 1997)
Khusus mengenai PPAT tersebut telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang ditetapkan tanggal 5 Maret 1998 dan ketentuan pelaksanaannya dituangkan dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 1 Tahun 2006. Dalam peraturan tersebut lebih gamblang dijelaskan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah.
2. Macam-macam PPAT
PPAT dibagi ke dalam tiga kategori, yakni :
a. PPAT Biasa, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta, yang memenuhi syarat tertentu (dapat merangkap sebagai Notaris, konsultan atau penasehat hukum)
b. PPAT Sementara, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT (Camat atau Kepala Desa).
c. PPAT Khusus, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani pembuatan akta tertentu atau untuk golongan masyarakat tertentu (Kepala Kantor Pertanahan) Tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
Perbuatan hukum tertentu tersebut meliputi :
a) Jual beli;
b) Tukar-menukar,
c) Hibah;
d) Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
e) Pembagian hak bersama;
f) Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
g) Pemberian Hak Tanggungan; dan
h) Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Dalam pembuatan akta otentik, maka ada persyaratan formal yang harus dipenuhi antara lain harus dibuat oleh pejabat umum yang khusus diangkat untuk itu dengan akta yang dibuat dalam bentuk tertentu, sehingga dapat dipastikan bahwa tindakan dalam pembuatan akta didasarkan atas hukum yang berlaku, aktanya dapat dijadikan sebagai dasar telah dilakukannya perbuatan hukum tersebut secara sah dan dapat dijadikan alat pembuktian di depan hukum.
Dasar hukum yang dijadikan pedoman teknis dalam pelaksanaan tugas PPAT adalah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 (UUPA), Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah serta peraturan pelaksanaannya.
3. Tugas-tugas PPAT
Tugas Pokok PPAT adalah melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar sebagai pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.Perbuatan Hukum mengenai hak atas tanah yang dapat dilakukan oleh PPAT tersebut antara lain :
a. Jual Beli;
b. Tukar menukar;
c. Hibah;
d. Pemasukan ke dalam perusahaan;
e. Pembagian hak bersama;
f. Pemberian HGB / HP atas tanah HM;
g. Pemberian hak tanggungan;
h. Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.
PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah yang terletak di dalam daerah kerjanya. PPAT dalam melaksanakan tugasnya diharuskan untuk berkantor di satu kantor dalam daerah kerjanya sebagaimana ditetapkan dalam Surat Keputusan pengangkatan, dan diharuskan diharuskan memasang papan nama jabatan PPAT Sementara, dengan rincian sbb :
a) Ukuran 100 x 40 cm atau 150 x 60 cm atau 200 x 50 cm
b) Warna dasar dicat putih tulisan hitam
c) Bentuk huruf Kapital
d) Mmempergunakan kop surat dan sampul dinas PPAT dengan letak penulisan dan warna tertentu.
e) Mempergunakan stempel jabatan PPAT.
4. Hak dan kewajiban PPAT
Dalam pelaksanaan tugasnya PPAT mempunyai Hak dan kewajiban, yakni:
a. Hak PPAT adalah
a) menerima uang jasa (honorarium) termasuk uang jasa (honorarium) saksi tidak melebihi 1% (satu persen) dari harga transaksi;
b) memperoleh cuti
b. Kewajiban PPAT.
a) mengangkat sumpah jabatan di hadapan Kepala Kantor Pertanahan Kab/Kota setempat;
b) berkantor dalam daerah kerjanya dengan memasang papan nama;
c) membuat, menjilid dan memelihara daftar-daftar akta, akta-akta asli, warkah warkah pendukung, arsip laporan dan surat-surat lainnya yang menjadi protokol PPAT;
d) Hanya dapat menandatangani akta peralihan hak atas tanah dan atau bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB
e) menyampaikan laporan bulanan mengenai semua akta yang dibuatnya selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya kepada: Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi.
5. Larangan dan sanksi PPAT
a. Larangan PPAT
a) membuat akta untuk dirinya sendiri, suami atau istrinya, keluarga sedarah dalam garis lurus vertikal tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping derajat kedua, menjadi para pihak atau kuasa (psl 23 PP 37 Thn. 1998);
b) membuat akta PPAT terhadap tanah yang dalam sengketa (psl 38 ayat 1 PP 37 Thn 1998).
Pengawasan dan Pembinaan PPAT dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional Pusat, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi dan Kantor Pertanahan kabupaten/Kota (Pasa. 33 PP No. 37 Thn. 1998 jo. Psl 35-38 PMNA/KBPN No. 4 Thn. 1999).
b. Sanksi bagi PPAT
a) Sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT, dikenakan tindakan administratif berupa teguran tertulis sampai dengan pemberhentian jabatannya sebagai PPAT (psl 10 PP No. 37 Thn 1998 jo. Psl 37 PMNA/KBPN No. 4 Thn. 1999)
b) Sanksi atas pelanggaran tidak menyampaikan laporan bulanan, dikenakan denda sebesar Rp. 250.000,- setiap laporan (psl 26 ayat 2 UU No. 20 Tahun. 2000).
Pengangkatan PPAT saat ini adalah berasal dari Notaris, artinya dipundak ada dua jabatan, selaku Notaris dan selaku PPAT. Selaku Notaris seseorang harus mempedomani Undang Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris beserta peraturan pelaksanaannya dan harus tunduk pada pejabat Departemen Kehakiman dan HAM. Sedang selaku PPAT harus mempedomani Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 beserta peraturan pelaksanaannya dan tunduk dan patuh pada pejabat Badan Pertanahan Nasional. Dalam hal ini bermakna bahwa terdapat dua paying hukum yang harus dipatuhi oleh seseorang yang bertindak dalam dua jabatan.
6. Ketentuan-ketentuan PPAT
Dalam pelaksanaan tugasnya selaku PPAT/Notaris, maka segala tindakannya yang berkaitan dengan pelaksanaan kewajibannya dalam pembuatan akta PPAT akan diawasi oleh Kepala Kantor Pertanahan setempat, termasuk pemeriksaan terhadap pembuatan akta, pengadaan dan pengisian protokol serta pelaksanaan segala kewajiban yang telah ditentukan, oleh karena itu sebelum melaksanakan tugas sebagai PPAT, hendaknya berkoordinasi terlebih dahulu dengan Kantor Pertanahan;
a. Bahwa dalam setiap membuatkan akta PPAT, lakukan koordinasi dengan Kantor Pertanahan setempat guna mendapatkan informasi tentang status tanah yang akan dibuatkan aktanya, apakah tanah tersebut benar-benar telah terdaftar atau apakah data yuridis dan data fisik yang ada dalam sertipikat tanah tersebut sesuai dengan data yang ada pada buku tanah di Kantor Pertanahan. Penyesuaian data dalam sertipikat dengan data dalam buku tanah tersebut lebih dikenal dengan nama "cek bersih". Dalam hal ini bermakna bahwa seorang PPAT dalam melaksanakan tugasnya harus senantiasa berkoordinasi dengan pihak pihak terkait.
b. Bahwa dalam pembuatan akta pastikan benar-benar dilakukan sesuai dengan keadaan sebenarnya dan keterangan yang sebenarnya dari para pihak yang bersangkutan Misalnya keadaan yang sebenarnya adalah bahwa dalam pembuatan akta itu benar benar para pihak berada dan menandatangani akta di hadapan PPAT, bukan dilakukan pembuatan aktanya di kantor tetapi penandatanganannya di rumah masing-masing. Perbuatan demikian apabila ada temuan dari pengawas, maka perbuatan tersebut merupakan pelanggaran berat dan akan menjadi salah alasan untuk pemberhentian dari jabatan PPAT dan juga berpotensi terkena tindakan pidana dengan delik membuat pernyataan palsu di dalam akta otentik. Dalam tindakan ini bermakna harus terdapat kepastian mengenai subyek dari yang berkepentingan.
c. Bahwa dalam rangka membuat Akta PPAT, walaupun tidak ada keharusan, namun disarankan sedapat mungkin dilakukan cek ke lapangan untuk memastikan ada tanahnya, letak pastinya dan keadaan tanahnya guna menjaga hal-hal yang tidak diinginkan seperti adanya sengketa dan tanahnya fiktif, Hal itu penting, karena salah satu syarat untuk membuatkan akta PPAT haruslah tanahnya bebas dalam sengketa, apabila PPAT membuatkan akta yang ternyata tanahnya dalam sengketa, maka PPAT tersebut telah melakukan pelanggaran berat, konsekwensi hukumnya tidak hanya terancam akan dicabut jabatan yang diembannya tetapi juga berpotensi menjadi bahan penyidikan oleh aparat hukum yang pada akhirnya dapat mengantarkannya ke dalam penjara. Dalam hal ini bermakna Kepastian mengenai obyek.
d. Bahwa adanya ketentuan undang-undang mengenai jangka waktu penyampaian akta ke Kantor Pertanahan oleh PPAT yang bersangkutan yaitu paling lama 7 (tujuh) hari sejak akta ditandatangani. hal ini perlu diperhatikan khususnya terhadap pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dengan tegas Undang Undang Hak Tanggungan mengatur dengan limitatif jangka waktu penyampaian APHT ke Kantor Pertanahan maksimal 7 hari sejak penandatnaganan akta. Dalam hal ini bermakan suatu kepastian dalam limit waktu.
e. Bahwa tugas apapun yang dilaksanakan dengan pembuatan akta PPAT, semuanya harus dilaporkan secara berkala kepada Badan Pertanahan Nasional, bahkan jika tidak melaksanakan tugaspun, artinya aktanya nihil, tetap harus dilaporkan kepada Badan Pertanahan Nasional. Dalam hal ini bermakna kepatuhan dalam menyampaikan laporan.
f. Bahwa sekalipun PPAT yang diangkat ini telah mendapatkan pendidikan formal dan telah lulus baik di pendidikan program Specialis Notariat maupun Magister Kenotariatan serta telah lulus ujian seleksi yang diadakan oleh Badan PertanahanNasional, namun ilmu yang didapatkan dari dunia pendidikan formal sering tidak memadai dengan cakupan persoalan aktual di lapangan, oleh karena itu perlu banyak berkonsulstasi dengan pembina/pejabat BPN, bertanya kepada senior, banyak membaca buku dan mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh Pemerintah.
Dalam menjalankan tugas-tugas selaku Notaris sekaligus PPAT, banyak yang terkait dengan kegiatan di bidang pertanahan yang terkait dengan tugas dan kewenangan PPAT, seperti:
a) Persoalan mengenai warisan, siapa dan berapa ahli waris sah dan apa warisannya
b) Persoalan mengenai wasiat/hibah, terkait ketentuan legitime portie
c) Masalah status anak, apakah anak sah, anak tidak sah atau anak angkat dan hak haknya.
d) Pembuatan Surat Keterangan Ahli Waris (SKAW) yang masih bermacam-macam bentuknya sesuai dengan golongan penduduk, misalnya untuk penduduk Eropa dan Tionghoa dibuat oleh Notaris, Golongan Timur Asing dibuat oleh Balai Harta Peninggalan, sedang untuk penduduk pribumi cukup dibuat oleh ahli waris yang bersangkutan disaksikan oleh Lurah dan Camat, khusus untuk pribumi yang beragama Islam, penetapan ahli waris dapat dibuat oleh Mahkamah Syariah dan bagi yang beragama Kristen dibuat oleh Ketua Pengadilan Negeri.
e) Pembuatan kuasa, ada kuasa umum, ini kuasa yang lemah karena hanya bertindak membawa nama yang memberi kuasa, ada kuasa menjual, tetapi dijual kepada dirinya sendiri, itu salah besar. ada kuasa mutlak yaitu kuasa yang tidak punya batas waktu, tidak dapat dicabut kembali dan tidak dikecualikan terhadap perbuatan hukum tertentu serta isinya tidak dapat dirubah, ada kuasa mutlak substitusi yaitu kuasa yang dapat dipindahkan kepada orang lain. Kuasa mana yang bisa dijadikan dasar perbuatan hukum dalam peralihan hak atas tanah, harus benar-benar diketahui dengan sejelas-jelasnya.
Hal lain yang menjadi perhatian adalah adanya kewajiban-kewajiban yang harus dicantumkan dalam akta misalnya pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atau Pajak Penghasilan (PPh). sebab jangan sampai terjadi semula maksud hati hendak membantu masyarakat dalam melayani pembuatan aktanya, tetapi karena ketidaktahuan aturan main, maka dengan seenaknya membuat akta PPAT yang nyata-nyata tidak memenuhi syarat seperti tanahnya masih dalam keadaan sengketa, tidak melampirkan bukti setoran BPHTB terutang, yang pada akhirnya dapat menyeret PPAT menjadi pesakitan di hadapan aparat penegak hukum.
7. Konsekuensi hukum.
Berikut kami paparkan sedikit terkait ketentuan hukum yang sejatinya harus diperhatikan oleh seorang PPAT, yaitu:
a. Bahwa saat ini banyak akta PPAT yang digugat bahkan menjadi obyek penyidikan oleh aparat penegak hukum, beberapa PPAT telah dan sedang menjalani pemeriksaan di kepolisian, ada yang menjadi saksi, bahkan ada yang menjadi tersangka. Ini yang harus diwaspadai. Sekali lagi pastikan semua aturan yang berkaitan dengan palaksanaan tugas dimengeri dengan baik, sehingga dalam menjalankan amanat dan tanggung jawab selaku pejabat Negara bisa survive.
b. Bahwa dalam menjalankan tugas selaku PPAT juga turut membantu Badan Pertanahan Nasional dalam memberikan penyuluhan hukum pertanahan kepada masyarakat, artinya, pelayanan kepada masyarakat tidak semata dilihat dari sudut bisnis semata tetapi ada sisi pengabdian sosial selaku pejabat negara.
B. Pajak pengalihan hak atas tanah
1. Definisi pajak pengalihan hak atas tanah
Pada bagian ini, kita akan membahas mengenai pajak pengsasilan (pph) dari peralihan hak atas tanah. PPh ini lebih kita kenal dengan singkatan PPh-PHTB alias kependekan dari istilah perpajakan “Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan”. Namun pada makalah ini, kita hanya fokus membahas pada pengalihan hak atas tanahnya saja. Sebab fokusan kita memang hanya pada tanahnya bukan bangunan.
Dalam konteks PPh-PHTB, pengertian PPh dapat kita lihat pada definisinya sebagai berikut:
a. Penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak selain pemerintah;
b. Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus;
c. Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.
Khusus untuk pengalihan hak yang disebutkan pada poin 3 dikecualikan dari pengenaan PPh-PHTB. Artinya, pemilik tanah yang menerima ganti-rugi atau ganti-untung tidak wajib menyetor PPh-PHTB dan begitu pula dengan bendaharawan pemerintah tidak perlu memotong atau memungut PPh-PHTB saat melakukan pembayaran. Seperti dijelaskan pada butir 1.c.2. dalam SE-48/PJ/2009, pengecualian ini diberikan secara langsung tanpa memerlukan Surat Keterangan Bebas (SKB).
Terkait dengan persyaratan pada butir nomor 3, dalam memori penjelasan Pasal 5 huruf b PP Nomor 71 Tahun 2008 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus antara lain: jalan umum, saluran pembuangan air, waduk, bendungan, saluran irigasi, pelabuhan laut, bandar udara, dan fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan bencana lainnya, serta fasilitas TNI/POLRI.
Adapun yang menjadi dasar terhadap pengenaan pajak dan berapa tarif pajak itu, adalah sebagai berikut ini:
a. PPh yang harus dibayar sendiri atau disetor bersifat final adalah sebesar 5 % (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah, yaitu nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan akta pengalihan hak dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan tahun yang bersangkutan atau dalam hal SPPT dimaksud belum terbit adalah NJOP menurut SPPT tahun pajak sebelumnya, kecuali: Dalam hal pengalihan hak kepada Pemerintah, adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan dan dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang, adalah nilai menurut risalah lelang.
b. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan PPh 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan dan bersifat final.
c. Pengalihan hak atas rumah sederhana, rumah sangat sederhana, dan rumah susun sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak Badan yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan PPh 2% dari jumlah bruto nilai pengalihan dan bersifat final.
d. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang jumlah penghasilannya melebihi PTKP apabila melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang jumlah brutonya kurang dari Rp 60 juta, PPh yang terutang dan yang harus dibayar sendiri sebesar 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan dan bersifat final.
2. Sejarah PPh-PHTB
PPh-PHTB awalnya adalah ditetapkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994. Peraturan Pemerintah (PP) tersebut secara berturut-turut kemudian diubah dengan PP Nomor 27 Tahun 1996, PP Nomor 79 Tahun 1999, dan terakhir dengan PP Nomor 71 Tahun 2008. PP yang disebut terakhir ini secara efektif mulai diberlakukan pada tahun 2009. Pada saat sebelum PP Nomor 71 Tahun 2008 diberlakukan, pengenaan PPh-PHTB ini beragam sifatnya tergantung dari jenis WP dan jenis usaha WP. Sifat pengenaan PPh-PHTB pada waktu sebelum 1 Januari 2009 secara singkat adalah sebagai berikut:
a. Bagi Wajib Pajak (WP) badan termasuk koperasi, yang kegiatan usahanya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah maupun bangunan sebagai barang dagangan, tidak dikenakan kewajiban untuk membayar PPh-PHTB. Penghasilan mereka yang berasal dari transaksi pengalihan hak atas tanah/bangunan tersebut dikenakan PPh secara umum. Ketentuan ini juga berlaku bagi pengembang (developer) kawasan perumahan, pertokoan, pergudangan, industri, kondominium, apartemen, rumah susun, dan gedung perkantoran (KMK Nomor 566/KMK.04/1999 tanggal 27 Desember 1999).
b. Bagi WP badan yang kegiatan usahanya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah/bangunan tetapi bukan sebagai barang dagangan, wajib membayar PPh-PHTB tetapi tidak bersifat final. Artinya PPh-PHTB yang dibayar dapat dikreditkan (diperlakukan seperti angsuran PPh Pasal 25). Ketentuan ini diatur dalam KMK Nomor 635/KMK.04/1994 stdd KMK Nomor 392/KMK.04/1996.
c. Bagi WP orang pribadi, yayasan dan organisasi sejenis, yang melakukan transaksi penyerahan tanah/bangunan, wajib membayar PPh-PHTB dan bersifat final (KMK Nomor 635/KMK.04/1994 stdd KMK Nomor 392/KMK.04/1996).
Kemudian sesuai dengan ketentuan PP Nomor 71 Tahun 2008, PPh-PHTB tersebut ditetapkan bersifat final dan berlaku bagi semua jenis WP apapun jenis usaha maupun kegiatan WP tersebut. Selain PP Nomor 71 Tahun 2008, peraturan lain terkini yang berkaitan dengan PPh-PHTB antara lain:
a. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 243/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember 2008;
b. Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-28/PJ/2009 tanggal 20 April 2009;
c. PER-30/PJ/2009 tanggal 27 April 2009 jo. SE-48/PJ/2009 tanggal 27 April 2009;
d. Surat Edaran (SE) Dirjen Pajak Nomor SE-50/PJ/2009 tanggal 25 Mei 2009;
e. SE Dirjen Pajak Nomor SE-80/PJ/2009 tanggal 27 Agustus 2009.
3. Subjek PPh-PHTB dan Pengecualian
Subjek atau pihak yang dikenakan PPh-PHTB adalah pemilik hak yang melakukan pengalihan hak atas tanah/bangunan, orang pribadi (individu) atau badan hukum (company). Namun demikian, sesuai dengan Pasal 5 PP Nomor 48 Tahun 1994 stdtd PP Nomor 71 Tahun 2008, ada beberapa kelompok orang pribadi dan badan (company) yang dikecualikan dari pengenaan PPh-PHTB. Mereka terdiri dari:
a. Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP yang melakukan pengalihan hak atas tanah maupun bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp 60.000.000,00 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.
b. Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah maupun bangunan kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.
c. Orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah/bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
d. Badan yang melakukan pengalihan tanah maupun bangunan dengan cara hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
e. Pengalihan hak atas tanah maupun bangunan karena warisan.
f. Orang pribadi atau badan yang tidak termasuk Subjek Pajak.
Sesuai dengan PER-30/PJ/2009 dan SE-48/PJ/2009, pengecualian yang disebutkan pada butir nomor 2 dan nomor 6, diberikan langsung tanpa melalui Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh-PHTB. Sedangkan untuk pengecualian yang lainnya (butir 1, 3, 4, dan 5) hanya bisa diberikan melalui penerbitan SKB PPh-PHTB oleh KPP tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar. Jika orang pribadi tersebut belum terdaftar, SKB PPh-PHTB diterbitkan oleh KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal (KPP Domisili). Tata cara memperoleh SKB PPh-PHTB-nya tidak bisa disampaikan di artikel ini tetapi dapat Anda pelajari di PER-30/PJ/2009 dan SE-48/PJ/2009 tersebut.
4. Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak PPh-PHTB
Sejak 2009 hingga sekarang, tarif PPh-PHTB terdiri dari dua tarif, yaitu 5% (lima persen) dan 1% (satu persen). Tarif PPh-PHTB sebesar 5% diberlakukan untuk semua Wajib Pajak tanpa melihat apakah pengalihan hak atas tanah/bangunan dilakukan dalam konteks kegiatan usaha (inventory atau barang dagangan) atau bukan kegiatan usaha (plant assets atau bukan barang dagangan). Sementara tarif PPh-PHTB sebesar 1% dikhususkan untuk pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya (core business) memang melakukan pengalihan hak atas tanah/bangunan. Mungkin Wajib Pajak yang dimaksud oleh PP Nomor 71 Tahun 2008 tersebut adalah developer atau pengembang perumahan. Hanya saja yang menjadi pertanyaan di sini adalah apakah 1% itu hanya dikenakan atas penyerahan rumahnya (bangunannya) saja atau termasuk juga tanahnya. Sebab di peraturan-peraturan terkait hal ini tidak dijelaskan secara detil.
Nilai yang dijadikan sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk menghitung PPh-PHTB, sesuai dengan Pasal 4 PP Nomor 48 Tahun 1994 stdtd PP Nomor 71 Tahun 2008, adalah jumlah bruto nilai pengalihan yaitu nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan akta pengalihan hak dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang ada di SPPT PBB atas tanah maupun bangunan yang bersangkutan. Namun khusus untuk:
a. Pengalihan hak kepada pemerintah, nilai yang digunakan adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan; dan
b. Pengalihan hak yang dilakukan sesuai dengan peraturan lelang, nilai yang digunakan adalah nilai menurut risalah lelang tersebut.
Misalkan WP A menjual sebidang tanahnya kepada PT X dengan harga kesepakatan Rp 1 milyar. Sesuai SPPT PBB, tanah tersebut memiliki NJOP sebesar Rp 900 juta. Maka dalam hal ini, nilai yang digunakan untuk menghitung PPh-PHTB adalah Rp 1 milyar. PPh-PHTB terutang sebesar 5% x Rp 1 milyar.
Andaikata SPPT PBB untuk tahun tersebut belum terbit, maka digunakan nilai sesuai SPPT PBB tahun pajak sebelumnya. Dan apabila terhadap tanah tersebut belum pernah diterbitkan SPPT PBB, misalnya karena tidak pernah dilaporkan ke kantor pajak, maka NJOP yang digunakan adalah NJOP sesuai dengan keterangan dari kepala kantor pajak (sekarang KPP Pratama) yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah maupun bangunan tersebut.
Contoh lain, misalnya tanah si B terkena proyek pemerintah dan mendapat ganti rugi sesuai keputusan pejabat pembebasan tanah Rp 100 juta. Padahal nilai pasar tanah tersebut sesuai NJOP adalah Rp 200 juta. Dalam hal ini, sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) huruf a PP Nomor 48 Tahun 1994, nilai yang digunakan untuk menghitung PPh-PHTB adalah Rp 100 juta (bukan nilai tertinggi Rp 200 juta).
5. Pemotongan dan Penyetoran Sendiri PPh-PHTB
Untuk pengalihan hak atas tanah/bangunan yang dilakukan kepada pemerintah, PPh-PHTB yang terutang akan dipotong oleh bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran. Dan sebagai bukti bahwa pembayaran itu sudah dipotong PPh-PHTB, maka kita sebagai pihak yang melakukan pengalihan hak harus meminta Surat Setoran Pajak (SSP) minimal fotokopinya. SSP tersebut seharusnya mencantumkan nama dan identitas kita sebagai pihak yang melakukan pengalihan hak atas tanah/bangunan.Untuk pengalihan hak atas tanah/bangunan yang dilakukan kepada selain pemerintah, termasuk pengalihan hak dalam rangka lelang, hibah atau cara lainnya, PPh-PHTB yang terutang harus disetor sendiri oleh pihak yang melakukan pengalihan hak atas tanah/bangunan.
Penyetoran menggunakan SSP dan dilakukan melalui bank persepsi atau tempat pembayaran lain yang menerima pembayaran pajak seperti Kantor Pos dan Giro. Penyetoran PPh-PHTB ini harus dilakukan sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang ditandatangani oleh notaris, PPAT, Camat, Pejabat Lelang yang berwenang. Biasanya para pejabat ini akan meminta kita untuk menunjukkan asli SSP pada saat sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, atau risalah lelang ditandatangani. Mereka juga akan meminta fotokopi SSP tersebut untuk nantinya mereka lampirkan dalam laporan bulanan mereka ke kantor pajak setempat.
BAB III
KESIMPULAN
Notaris / PPAT merupakan salah satu pejabat negara yang kedudukannya sangat dibutuhkan di masa sekarang ini. Di masa modern ini, masyarakat tidak lagi mengenal perjanjian yang berdasarkan atas kepercayaan satu sama lain seperti yang mereka kenal dulu. Setiap perjanjian yang dilakukan oleh masyarakat pasti akan mengarah kepada notaris sebagai sarana keabsahan perjanjian dan kegiatan agrarian lainya yang mereka lakukan . Karena itulah, kedudukan notaris /PPAT menjadi semakin penting di masa seperti sekarang ini.
Seperti pejabat negara yang lain, notaris dan PPAT juga memiliki kewenangan tersendiri yang tidak dimiliki oleh pejabat negara yang lainnya. Selain kewenangannya, para notaris juga memiliki kewajiban dan larangan yang wajib mereka patuhi dalam pelaksanaan tugas jabatannya. Dengan berdasar pada Undang-undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, PPAT berdasarkan pada Undang-undang No. 37 Tahun 1998. para notaris dan PPAT di Indonesia wajib untuk memahami apa yang menjadi wewenang dan kewajiban mereka serta larangan yang tidak boleh dilakukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya. Tentunya apabila ketentuan yang diatur dalam ketentuan Undang-undang No. 30 Tahun 2004 dan Undang-undang No. 37 Tahun 1998 di langgar maka mereka akan menerima sangsi yang tegas sesuai yang diatur dalam ketentuan tersebut.
PPh dapat kita lihat pada definisinya sebagai berikut: Penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak selain pemerintah;Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus;Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Santos, Dr. Urip, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Jakarta: Kencana, 2011
Habib, Adjie. Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Bandung: Rafika Aditama, 2008
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Undang-undang Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan PPAT
Artikel/internet:
http://hasyimsoska.blogspot.com
http://www.pembayarpajak.com/index.php/articles/pajak-penghasilan/pph-final/162
pph-final-pengalihan-hak-atas-tanah-bangunan
http://www.pajak.net/info/PPh_pengalihan_hak_atas_tanah_bangunan.htm
http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-pengalihan-hak-atas-tanah-danatau-bangunan
Nice Post... Article yang sangat menarik dan bermanfaat.... teruslah berkarya dan hadrikan kembali postingan-postingan yang bermanfaat ya,,, Terima kasih
BalasHapusAgen Judi Poker Dan Domino Online Terbaik
Adana
BalasHapusErzurum
Sinop
istanbul
Düzce
ABT1P