-->

HUKUM WARIS ADAT II Proses Penerusan Harta Peninggalan atau Warisan, Hutang Si-Waris, dan Biaya Penguburan












Dosen Pengampu : Saifuddin S.HI., M.Si.

Disusun oleh:
Karlinda Yunita : 12360013
Miss. Tanita Maknab : 12360025
Riza Budiarto : 12360019
Fauziah Salamah : 12360026
Sulaiman Tahir : 12360021
Rita Oktaviana : 12360027
Miss. Nooreehan Salae : 12360024

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2013-2014




KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, dengan izin Allah SWT makalah ini akhirnya bisa selesai. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata  kuliahHukum Adatyang berjudul “Hukum Waris Adat II”.Semoga makalah inidapat memberi pengetahuan dan membantu memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang hokum adat khususnya tentang hukum waris adat.
Namun karena penulis masih belajar, tentu banyak kekurangan. Jadi mohon dimaklumi jika terdapat kekurangan dari berbagai segi, dan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga makalah ini senantiasa membawa kemanfaatan dan keberkahan. Amin yarobbal ‘alamin.
Yogyakarta, 21 Mei 2014

Penyusun






BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan Negara yang plural, terdiri dari berbagai macam hokum adat. Berbicara tentang hukum waris di Indonesia, tidak dapat lepas dari hukum waris adat. Dimana antara daerah yang satu berbeda cara penerusan hartanya dengan daerah yang lain. 
Hokum waris adat penting untuk dikaji, karena salah satu unsur hokum adat guna pembinaan hokum waris nasional adalah hokum waris adat. Oleh karenanya, bahan-bahan hokum waris adat perlu diperhatikan dengan jalan melakukan penelitian kepustakaan yang ada maupun penelitian di lapangan untuk dapat mengetahui apakah dari berbagai system dan asas hokum waris adat yang terdapat di seluruh wawasan nusantara ini dapat dicari titik temu dan kesesuaiannya dengan kesadaran hokum nasional.
Hukum waris adat juga dapat menjadi satu solusi dalam penerusan harta warisan. Karena banyak kearifan-kearifan lokal yang terkandung dalam berbagai adat yang berbeda tersebut. Hukum waris adat umumnya sangat berbeda dengan hukum waris islam. Dimana dalam hukum waris adat lebih mengutamakan asas perdamaian.


B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses penerusan harta peninggalan atau warisan adat?
2. Bagaimana pelunasan hutang-hutang si pewaris?
3. Bagaimana pembiiayaan penguburan si mayit?



BAB II
PEMBAHASAN

A. Proses Penerusan Harta Peninggalan atau Warisan

Yang dimaksud proses pewarisan atau jalannya pewarisan adalah cara bagaimana pewaris berbuat untuk meneruskan atau mengalihkan harta kekayaan yang akan ditinggalkan kepada para waris ketika pewaris itu masih hidup dan pemakainya atau cara bagaimana melaksanakan pembagian warisan kepada pada waris setelah pewaris wafat.
Proses pewarisan dikala pewaris masih hidup dapat berjalan dengan cara penerusan atau pengalihan (Jawa, Lintiran), penunjukan (Jawa, cungan); (Lampung, dijengken) dan atau dengan cara berpesan, berwasiat, beramanat (Jawa, weling,wekas; Lampung, tanggeh). Ketika pewaris telah wafat berlaku cara penguasaan yang dilakukan oleh anak tertentu, oleh anggota keluarga kepala kerabat, sedangkan cara pembagian dapat berlaku penbagian ditangguhkan (Jawa, gantungan), pembagian dilakukan berimbang, berbanding atau menurut hukum islam.

1. Sebelum Pewaris Wafat
a. Penerusan atau Pengalihan.
Cara penerusan atau pengalihan harta kekayaan dari pewaris kepada waris yang sudah seharusnya berlaku menurut hukum adat setempat, terutama terhadap kedudukan, hak dan kewajiban dan harta kekayaan yang tidak terbagi-bagi seperti kepada anak lelaki tertua atau termuda di tanah batak, kepada anak tertua wanita di Minangkabau, kepada tunggu-tubang di Semendo, kepada anak punyimbang di Lampung, kepada anak tertua pria di Jawa, kepada anak pangkalan di Kalimantan, kepada Toyaan (anak lelaki tertua) di kecamatan  Sonder Minahasa, kepada anak lelaki tertua di Teluk Yos Soedarso Jayapura; kesemuanya itu sudah berlaku tradisional, yang pelaksaannya menurut tata cara musyawarah adat dan mufakat kekerabatan atau kekeluargaan setempat.
Di daerah Lampung penerusan atau pengalihan hak atas kedudukan dan harta kekayaan biasanya berlaku setelah pewaris berumur lanjut dimana anak tertua lelaki sudah mantap berumah tangga dan adik-adiknya demikian pula. Dengan penuran dan pengalihan hak dan kewajiban sebagai kepala rumah menggantikan ayahnya, maka selama ayah masih hidup ayah tetap berkedudukan sebagai penasihat dan tempat memberikan laporan dan pertanggung jawab kekeluargaan. 
Termasuk dalam arti penerusan atau pengalihan harta kekayaan dikala pewaris masih hidup ialah diberikanny aharta kekekayaan tertentu sebagai dasar kebendaan untuk kelanjutan hidup kepada anak-anak yang akan kawin mendirikan rumah tangga baru (Batak, manjae: Jawa, mencar, mentas) misalnya pemberian atau dibuatkannya bangunan rumah dan pekarangan tertentu, bidang-bidang tanah ladang, kebun atau sawah, untuk anak lelaki atau perempuan yang akan berumah tangga.
Di Aceh, di Minang dan Banten biasanya bangunan rumah diteruskan atau diberikan kepada anak wanita, sedangkan di Batak, Lampung, Jawa (untuk sebagian) dan Bali bangunan rumah diberikan kepada anak lelaki, perhiasan dan alat-alat rumah tangga, alat dapur, diberikan kepada anak-anak wanita. Orang Jawa mengatakan, wong lanang ngomahi, wong wadon ngiseni, orang lelaki membuat rumah orang perempuan yang mengisinya. Begitu pula jenis barang yang diberikan, kepada anak itujuga diipengaruhi oleh bentuk perkawinan yang mereka lakukan.
Pemberian harta kepada anak angkat atau tiri, anak akukan dan anak lainnya yang telah banyak mengabdi, memberikan jasa-jasa baiknya guna kehidupan rumah tangga, kebanyakan dilakukan sebelum pewaris wafat, oleh karena pewaris takut bahwa sianak angkat tersingkir dalam pembagian warisan kelak apabila pewaris wafat oleh anak-anak kandungnya. Kekhawatiran ini antara lain adalah disebabkan pengaruh hukum waris islam yang tidak mengakui anak angkat sebagai waris.

b. Penunjukan
Seseorang yang mendapat penunjukkan atas harta tertentu sebelum pewaris wafat belum dapat berbuat apa-apa selain hak pakai dan hak milik mati. Misalnya di Lampung, orang tua ketika hidupnya ngejengken (menundukan) dengan pernyataan yang terang dihadapan warisnya dan para anggota keluarga bahwa sebuah mobil untuk anaknya si A, ini berarti setelah pewaris wafat barulah mobil itu menjadi hak milak A.

c. Pesan atau Wasiat
Pesan atau wasiat orangtua kepada para waris ketika hidupnya itu harus diucapkannya dengan terang dan disaksikan oleh para waris, anggota keluarga, tetangga, tua-tua desa (pamong desa). Di Aceh dimana hukum Islam besar pengaruhnya wasiat (wasiat) biasanya biasanya dihadapan Keuchik, Teungku, Meunasah dan tua-tua kampong dalam suatu kenduri yang dilaksanakan setelah sembahyang maghrib bertempat di rumah pewaris. Di Aceh pada umumnya bukan antara pewaris kepada ahli waris melainkan kepada bukan ahli waris

2. Sesudah Pewaris Wafat
a. Penguasaan Warisan.
Penguasaan atas harta warisan berlaku apabila harta warisan itu tidak dibagi-bagi, Karena harta warisan itu merupakan milik bersama yang disediakan untuk kepentingan bersama para anggota keluarga pewaris, atau karena pembagiaannya ditangguhkan disebabkan alasan-alasan. Barangsiapa menjadi penguasa atas harta warisan berarti bertanggung jawab untuk menyelesaikan segala sangkut paut hutang piutang pewaris ketika hidupnya dan pengurusan para waris yang ditinggalkan guna kelangsungan hidup para waris.

1) Penguasaan Janda
Dilingkungan masyarakat patrilinial dimana isteri masuk klan (kekerabatan) suami dan tetap merupakan anggota keluarga pihak suami janda tetap dapat menguasai harta warisan dan menikmatinya selama hidupnya utuk kepentingan dirinya dan kelanjutan hidup anak-anaknya.
Dilingkungan masyarakat matrilineal janda adalah mutlak menjadi penguasa atas harta warisan yang tidak terbagi-bagi untuk kepentingan hidupnya dan anak-anak keturunannya, yang pengelolaannya dibantu  dan diawasi oleh saudara lelaki tertua sijanda (Minangkabau, Mamak Kepala Waris; Semendo, Payung Jurai).

2) Penguasaan Anak
Apabila janda sudah tua dan anak-anak sudah dewasa dan sudah berumah tangga maka harta warisan yang tidak terbagi-bagi dikuasai oleh anak  yang berfungsi dan berperanan untuk itu. Lebih-lebih untuk harta warisan berupa tanah dimana pengaruh hak ulayat masih kuat. Misalnya penguasaan anak lelaki tertua atas tanah kasikepan da daerah Curebon, atau tanah pekulen atau tanah pelayangan yang dikuasai oleh kuli kenceng. Begitu pula dengan tanah padesan di Bali yang dikuasai oleh waris anak lelaki tertua berdasarkan keputusan musyawarah desa.
3) Penguasaan Anggota Keluarga

Apabila pewaris wafat meninggalkan anak-anak masih kecil dan tidak ada jandanya yang dapat bertanggung jawab mengurus harta warisan, maka penguasaan atas harta warisan yang tidak terbagi-bagi jatuh pada orang tua pewaris menurut susunan kekerabatan pewaris, dan jika orang tua pewaris juga sudah tidak ada lagi maka penguasaannya dapat dipegang oleh  saudara-saudara pewaris atau keturunannya menurut sistim keturunan dan kekerabatan pewaris.
4) Penguasaan Tua-tua Adat

Apabila harta warisan itu berupa harta pusaka tinggi, mulai dari barang-barang yang bernilai yang kecil-kecil seperti keris pustaka, tumbak, pedang, batu-batu jimat, sampai pada barang-barang besarseperti bangunan-bangunan, alat perlengkapan adat, balai adat, rumah kerabat, tanah kerabat, dan sebagainya, maka walaupun barang-barang itu dipegang oleh pewaris karena jabatan adatnya, sesusungguhnya ia berada dibawah penguasaan tua-tua adat (Minangkabau, Ninikmamak atau penghulu; Lampung, Prowatin; rote, nabuak). Jadi jika pewaris wafat maka penguasaan itu kembali pada tua-tua adat untuk kemudian ditetapkan kembali siapa waris pengganti yang akan memegangnya berdasarkan keputusan musyawarah adat.

b. Pembagian Warisan
1) Waktu Pembagian dan Juru Bagi
Apabila harta warisan akan dibagi maka yang menjadi juru bagi dapat ditentukan antara lain adalah:
- Orangtua yang masih hidup (janda/duda dari pewaris)
- Anak tertua lelaki/perempuan
- Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur, adil dan bijaksana
- Anggota kerabat tetangga, pemuka masyarakat, adat atau pemuka agama yang diminta, ditunjuk atau dipilih oleh para waris untu bertindak sebagai juru bagi.
2) Cara Pembagian

Diberbagai daerah sebagaimana halnya dikalangan masyarakat adat Jawa cara pembagian ada dua kemungkinan, yaitu:
- Dengan cara segendong sepikul, artinya bagian anak lelaki dua kali lipat bagian anak perempuan
- Dengan cara dun-dum kupat, artinya bagian anak lelaki dan bagian anak perempuan berimabang sama.

3) Kemungkinan Hilangnya Hak Mewaris
Perbuatan salah yang memungkinkan hilangnya hak mewaris seseorang terhadap harta warisan orangtuanya atau dari pewaris lainnya adalah misalnya
- Membunuh atau berusaha menghilangkan harta pewaris atau anggota keluarga pewaris.
- Melakukan penganiayaan atau berbuat merugikan kehidapan pewaris.
- Melakukan perbuatan tidak baik, menjatuhkan nama baik pewaris atau nama kerabat pewaris karena perbuatan yang tercela.
- Murtad dari agama atau berpindah agama atau kepercayaan, sebagainya.

B. Hutang Si-Waris

Di daerah-daerah Tapanuli (Suku batak), Kalimantan (Suku Dayak) dan di Pulau Bali misalnya, para ahli waris wajib membayar hutang Pewaris asal saja penagih hutang memberitahukan haknya kepada para Ahli Waris tersebut dalam waktu 40 hari sesudah pewaris meninggal atau pada waktu “Nyekah” (di Bali) yaitu selamatan bagi simati.

Di daerah Gianjar (di Pulau Bali) rupanya hutang-hutang sipeninggal warisan hanya beralih dari Orang Tua kepada Anak-anaknya dan dari Suami kepada Istria tau sebaliknya dan tidak kepada lain-lain warga keluarganya.

Di Jawa orang-orang menganggap bahwa hanya harta peninggalan pewaris dapat dipergunakan untuk membayar hutangnya sehingga harta itu tidak boleh dibagi-bagi dulu sebelum hutang pewaris dibayar dari harta tersebut. Menurut Adat apa yang pada hakikatnya beralih tangan dari yang meninggal kepada para ahli warisnya itu ialah barang-barang tinggalan dalam keadaan bersih, artinya setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang dan pembayaran pembayaran lain (misalnya biaya kubur).

Dalam Hukum Adat pembagian warisan tidak selalu ditangguhkan sampai semua hutang pewaris dibayar. Setelah para ahli waris menerima bagiannya mereka dapat ditegur oleh para kreditur untuk membayar hutang sipeninggal warisan. Dan kebanyakan daerah di Indonesia terutama di Jawa hutang-hutang ini harus dibayar oleh para ahli waris sekedar mereka itu menerima bagian harta peninggalan serta kewajiban mereka membayar itu adalah sepadan dengan jumlah yang diterima oleh mereka masing-masing jikalau harta peninggalan itu tidak mencukupi maka para ahli waris tidak dapat dituntut untuk membayar kekurangannya.

Putusan LANDrAAD PURWOREJO tanggal 23 Maret 1938 di T.148 halaman 320 berbunyi:“bahwa ahli waris bertanggung jawab atas hutang pewaris sekedar harta warisan mencukupinya”.
Menurut DJOJODIGOENO-TIRTAWINATA
“khususnya di JAWA TENGAH sering kali para ahli waris membayar juga kekurangan-kekurangannya dengan maksud agar supaya jangan memberatkan simati didunia akhirat.  

C. Biaya Penguburan

1. Di daerah-daerah Tapanuli (Suku batak), Kalimantan (Suku Dayak) dan di Pulau Bali misalnya, para ahli waris wajib membayar hutang Pewaris asal saja penagih hutang memberitahukan haknya kepada para Ahli Waris tersebut dalam waktu 40 hari sesudah pewaris meninggal atau pada waktu “Nyekah” (di Bali) yaitu selamatan bagi simati.
2. Di daerah Gianjar (di Pulau Bali) rupanya hutang-hutang sipeninggal warisan hanya beralih dari Orang Tua kepada Anak-anaknya dan dari Suami kepada Istria tau sebaliknya dan tidak kepada lain-lain warga keluarganya.

3. Di Jawa orang-orang menganggap bahwa hanya harta peninggalan pewaris dapat dipergunakan untuk membayar hutangnya sehingga harta itu tidak boleh dibagi-bagi dulu sebelum hutang pewaris dibayar dari harta tersebut. Menurut Adat apa yang pada hakikatnya beralih tangan dari yang meninggal kepada para ahli warisnya itu ialah barang-barang tinggalan dalam keadaan bersih, artinya setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang dan pembayaran pembayaran lain (misalnya biaya kubur).

Dalam Hukum Adat pembagian warisan tidak selalu ditangguhkan sampai semua hutang pewaris dibayar. Setelah para ahli waris menerima bagiannya mereka dapat ditegur oleh para kreditur untuk membayar hutang sipeninggal warisan. Dan kebanyakan daerah di Indonesia terutama di Jawa hutang-hutang ini harus dibayar oleh para ahli waris sekedar mereka itu menerima bagian harta peninggalan serta kewajiban mereka membayar itu adalah sepadan dengan jumlah yang diterima oleh mereka masing-masing jikalau harta peninggalan itu tidak mencukupi maka para ahli waris tidak dapat dituntut untuk membayar kekurangannya.

Biaya Mengubur Mayat (Khusus untuk Bali = Biaya Membakar Mayat)
Biaya untuk menyelenggarakan upacara mayat serta menguburnya (membakarnya “Ngabeni Mayat” di Bali) memang bukan termasuk bagaian dari harta peninggalan. Malahan harta yang masuk menjadi harta peninggalan harus dipakai terutama sekali untuk membiayai penyelenggaraan upacara mayat beserta penguburannya (pembakarannya).

Kewajiban untuk menyelenggarakan upacara mayat serta menguburnya itu adalah demikian pentingnya sehingga seorang ahli waris dengan setahu waris-waris yang lain boleh menjual sesuatu bagian dari harta peninggalan untuk membiayai penguburan simati. Dengan sendirinya pengeluaran biaya itu harus diselenggarakan dalam batas-batas yang patut. Pembayaran hutang untuk keperluan ongkos mayat harus didahulukan jika ditagih oleh kreditur.

Sebelum harta peninggalan itu dibagi-bagi maka biaya mayat wajib dibayar lebih dahulu. Kewajiban mengubur adalah demikian pentingnya sehingga jika seorang bukan waris yang mengerjakannya maka ia berhak untuk mengambil sebagian dari harta peninggalan simati sebagai ganti biaya yang dikeluarkannya. Dan harta peninggalan seorang yang tidak mempunyai ahli waris dapat diberikan kepada orang yang menyelenggarakan penguburannya.

Selamatan-selamatan untuk arwah yang meninggal pada umumnya diselenggarakan oleh para ahli waris atas biaya sendiri yang tidak diperhitungkan pada waktu pembagian harta peninggalan dikemudian hari. Selamatan-selamatan yang demikian ini diadakan Pada hari meninggalkan pewaria (SURTANAH) dan seterusnya pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh dan keseratus sesudah hari meninggalnya pewaris. Malahan di JAWA TENGAH dan JAWA TIMUR juga  satu tahun, dua tahun dan seribu hari setelah pewaris meninggal dunia. Selamatan-selamatan ini disebut “WILUJENGAN”.

Hutang guna membiayai selamatan tersebut tidak bersifat hutang yang harus dibayar terlebih dahulu. Ongkos-ongkos guna menyelenggarakan selamatan-selamatan ini tidak termasuk biaya upacara mayat-mayat dan biaya penguburannya. Penyelenggaraan selamatan-selamatan terserah kepada para ahli waris sendiri apakah akan diadakan secara besar (lengkap) (ROWA) atau secara seperlunya (RINGKES) sehingga dapat menekan ongkos-ongkos pengeluarannya sampai sekecil-kecilnya. Apabila diselenggarakan secara seperlunya maka lajimnya upacara itu disebut “KENDUREN”.

Setelah semua hutang-hutang pewaris dilunasi dari harta peninggalan maka jika masih ada sisanya biaya selamatan tersebut dapat pula diambilkan dari sisa harta peninggalan itu.
Pembagian Harta Peninggalan
Pembagian harta peninggalan adalah merupakan suatu perbuatan daripada para ahli waris bersama-sama. Serta pembagian itu diselenggarakan dengan permufakatan atau atas kehendak bersama daripada para ahli waris.

Apabila harta peninggalan dibagi-bagi antara para ahli waris maka pembagian itu biasanya berjalan secara rukun di dalam suasana ramah tamah dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap-tiap waris pembagian berjalan atas dasar kerukunan. Sebagai contoh dapat dikemukakan kebiasaan di daerah BANTEN yakni bahwa rumah tinggal orangtua biasanya dibagikan kepada anak perempuan oleh karena suami lajimnya datang berdiam di rumah istrinya.

Di dalam menjalankan kerukunan itu semua pihak mengetahui haknya masing-masing menurut hukum sehingga mereka mengetahui juga apabila ada pembagian yang menyimpang serta seberapa jauh penyimpangan tersebut dari peraturan-peraturan hukum. Atas persetujuan semua pihak tiap pembagian yang menyimpang dari peraturan hukum dapat diselenggarakan dan pelaksanaanya mengikat semua pihak yang telah bersepakat itu.

Pembagian harta peninggalan yang dijalannkan atas dasar kerukunan biasanya terjadi dengan penuh pengetahuan bahwa semua anak baik laki-laki maupun perempuan pada dasarnya mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orang tuanya. Perbedaan agama adalah tidak merupakan soal bukan soal pula siapa yang lahir lebih dahulu. Apabila ternyata tidak terdapat permufakatan dalam penyelenggaraan pembiayaan harta peninggalan ini maka Hakim (Hakim Adat atau Hakim Perdamaian Desa atau Hakim Pengadilan Negeri) berwenang atas permohonan para ahli waris untuk menetapkan cara pembagiannya serta memimpin sendiri pelaksanaan pembagiannya.

Apabila keputusan Hakim ini belum dapat memuaskan semua pihak bahkan ada beberapa pihak yang secara terang-terangkan menyatakan kurang dapat menerima keputusan itu maka harta peninggalan itu dijual secara umum (dilelang) dan pendapatannya dibagi merata. Tetapi tindakan ini terpaksa mengundang turut campurnya instansi yang biasanya dalam penyelenggaraan pewarisan demikian ini harus dicegah turut campurnya. Jikalau dalam pembagian harta peninggalan itu terjadi pengoperan sebidang tanah, maka pelaksanaan pengoperannya wajib dilakukan dengan bantuan Kepala Desa satu dan lain supaya menjadi terang dan sah.

Peristiwa hukum waris
a. Saat dan proses peralihan harta waris

Di muka telah disinggung prihal pendapat Soepomo yang anatara lain menyatakan, bahwa proses meneruskan dan mengalihkan barang-barang harta keluarga kepada anak-anak, munkin di mulai selagi orang tua masih hidup. Untuk memperjelas pendapatnya tersebut, Soepomo mengambil contoh suatu keluarga di Jawa, keluarga mana terdiri dari dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Oleh karena anak laki-laki tertua telah dewasa dan cakap bekerja atau , “kuat gawe”, maka ayahnya memberikan sebidang sawah, pemberian mana dilakukan di hadapan kepala desa. Anak kedua yang adalah anak perempuan, pada saat dinikahkan, diberi sebuah rumah.

Menururt Soepomo, maka pemberian tersebut bersifat mutlak, dan merupakan pewarisan atau toescheiding. Perbuatan tersebut bukan merupakan jual beli, akan tetapi merupakan pengalihan harta benda di dalam lingkungan keluarga sendiri (Soepomo 1977: 84, 85).

Apabila pendapat Soepomo tersebut di atas dapat dijadikan suatu patokan yang sementara sifatnya, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa saat terjadinya pengalihan harta waris terjadi, pada waktu harta tersebut diberikan kepada ahli waris, yang mungkin terjadi pada saat pewaris masih hidup. Akan tetapi proses semacam itu, sangat cenderung terjadi pada masyarakat-masyarakat yang menganut sistem pewarisan individual, dan frekuensinyapun kadang-kadang sering terjadi atau kadang-kadang jarang terjadi, oleh karena hal itu tergantung kepentingan masing-masing pihak. Di Bali, misalnya pemberian harta pada saat pewaris masih hidup, tidaklah dengan sendirinya merupakan pengalihan harta waris.

Pemberian harta pada ahli waris, semasa pewaris masih hidup, dapat berwujud “jiwa dana”, yakni pemberian lepas dari pewaris kepada ahli warisnya. Kecuali itu, maka pemberian tersebut dapat berupa “pengupah jiwa” yang merupakan pemberian yang bersifat sementara, hanya untuk dinikmati hasilnya oleh ahli waris. Juga dikenal adanya “pedum panong” atau “pedum raksa” yang merupakan pembagian harta waris antara para ahli waris yang bersifat sementara.

Pada masyarakat-masyarakat dengan sistem kewarisan mayorat, maka beralihnya harta waris kepada ahli waris terjadi pada saat pewaris meninggal dunia. Proses semacam itu juga mungkin terjadi ada masyarakat yang menganut sistem kewarisan individual yang terbatas, seperti misalnya di Bali.

Proses kewarisan semasa masih hidup atau pada saat pewaris meninggal dunia berbeda dengan proses pewarisan secara hibah wasiat. Kadang-kadang seorang pewaris di hadapan para ahli warisnya menyatakan bahwa bagian tertentu dari harta-peninggalan itu diperuntukan bagi ahli waris tertentu (dapat juga dihadiahkan pada seseorang tertentu). Di Jawa, misalnya, hibah wasiat yang demikian ini di sebut wekasan (welingen), di Minangkabau di sebut umanat, di tempat-tempat lain di sebut dengan istilah-istilahnya sendiri-sendiri. Pewarisan yang demikian ini merupakan peristiwa hukum yang baru akan berlaku setelah orang tua meninggal dunia.

Dilakukannya pewarisan secara hibah wasiatnya, pada dasarnya bertujuan:
1. Untuk mewajibkan para ahli waris untuk membagi-bagi harta warisan dengan cara layak menurut anggapan poewarisan.
2. Untuk mencegah terjadinya perselisihan,
3. Dengan hibah wasiat, pewaris menyatakan secara mengikat sifat-sifat dari barang-barang harta yang ditinggalkan, seperti barang-barang pusaka, barang-barang yang dipegang dengan hak sende (gadai), barang-barang yang disewa dan sebagainya.

Kadang-kadang hibah wasiat itu dibuat secara tertulis melalui perantaraan seorang notaris (testament). Menurut Soepomo, meskipun hibah wasiat itu berbentuk akte-notaris, sah atau tidaknya isi hibah wasiat itu dikuasai oleh hukum adat. Misalnya, tidak akan sah suatu pemberian sawah kasikepann kepada seorang waris yang bukan teman sedesa (Soepomo 1977: 89).

b. Bagian dan pembagian harta warisan
Pada masyarakat hukum adat bilateral atau tarental (dan sebagian dari masyarakat hukum adat patrilineal), pada dasarnya harta warisan itu dibagi-bagi kepada ahli warisnya. Di Jawa, misalnya, sebagaimana dinyatakan oleh Soepomo bahwa pada atasnya bagian anak laki-laki adalah sama dengan bagian anak perempuan. Tetapi di beberapa desa terutama di Jawa Tengah, anak laki-laki memperoleh dua kali bagian dari anak perempuan.

Demikian juga halnya dengan masyarakat di Sumatera Selatan. Di sana telah terdapat kecenderungan agar harta warisan itu dibagi kepada masing-masing ahli waris dengan bagian yang tidak sama. Bagi masyarakat Rote di Nusa Tenggara Timur, yang pada dasarnya patrilineal, anak laki-laki tertualah yang memperoleh bagian terbesar dari warisan.

Hal ini di dasarkan pada keadaan bahwa anak laki-laki tertua itu paling besar tanggung jawabnya terhadap keutuhan keluarganya, karena ia merupakan pengganti ayahnya. Anak laki-laki tertua itu memperoleh bagian sebesar satu setengahnya dari bagian seluruhnya dari harta kekayaan, sedangkan saudara-saudara laki-lakinya yang lain hanya akan menerima satu bagian, kecuali anak laki-laki yang paling muda (terbungsu), akan memperoleh tambahan rumah ayah ibunya. Untuk dapat lebih memahami uraian di atas, maka diberikan contoh sebagai berikut.

 Seorang pewaris mempunyai tanah pertanian yang menjadi harta warisan, misalnya seluas enam hektar. Ahli warisnya berjumlah lima orang, maka anak laki-laki tertua akan memperoleh sebesar 1 1/2 x 6/5 = 3/2 x 6/5 = 1,8 ha. Anak laki-laki lainnya memperoleh harta warisan sebesar 1,05 ha, di tambah dengan sebuah rumah.

Pada masyarakat pulau Andora (di Nusa Tenggara Timur), anak perempuan hanyalah memperoleh warisan berupa perhiasan dan benda lain-lainnya, tetapi tanah dan kebun merupakan bagian dari anak laki-laki saja (Hidayat Z.M. 1976: 175) dan seterusnya.

Pada masyarakat yang menganut sistem patrilineal yang kebetulan menganut sistem kewaris mayorat (laki-laki maupun perempuan), harta warisan tidak dibagi-bagi. Sebabnya adalah, bahwa yang menjadi ahli waris adalah hanya anak tertua (laki-laki dan ataupun perempuan). Demikian juga keadaannya pada mayarakat.

 Hitu di Ambon (yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal), harta warisan tidak dibagi-bagi. Tetapi brbeda dengan pada masyarakat yang menganiut sistem patrilineal lainnya yang menganut sistem mayorat (laki-laki), misalnya di Lampung, pada masyarakat Hitu ini tidak ditentukan siapa yang menguasai harta warisan itu, oleh karena di sini ahli warisnya adalah keluarga dan famili secara keseluruhan.

Pada masyarakat Tapanuli (“Batak”), oleh karena ahli warisnya adalah anak laki-laki (semua anak laki-laki) maka sudah tentu harta warisan itu dibagi-bagi kepada ahli warisnya (kalau analaki-laki itu lebih dari satu orang). Bagaimana komposisi pembagian warisan di sana, dapat diasumsikan harta itu akan dibagi secara merata pada tiap anak laki-laki. Demikian juga halnya pada masyarakat Bali, yaitu harta itu akan dibagi kepada para ahli warisnya termasuk di dalamnya ada anak angkat (laki-laki).’

Hampir sama dengan masyarakatb Hitu di Ambon, adalah masyarakat Minangkabau. Seperti telah diketahui masyarakat Minangkabau adalah masyarakat matrilineal, akan tetapi dalam hal waris di sini tidak diadakan pembagian, oleh karena yang menguasai warisan itu adalah seluruh anggota keluarga (anak-anak kandungnya) dan seluruh kerabat atau famili, yang diwakili oleh mamak kepala waris.

Dengan menalaah uraian di atas, maka disimpulkan pada masyarakat di Indonesia, terdapat harta warisan yang tidak dibagi-bagi kepala warisnyatetapi juga terdapat ketentuan yang membagi-bagikan harta warisan itu kepada ahli warisnya. Namun demikian kesimpulan yang diberikan iniagak terlalu umum, oleh karena pada masyarakat yang menganut sistem kewarisan yang individual, baik individual terbatas maupun tidak, masih terdapat harta warisan yang tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya secara individual, dan masih terdapt harta warisan yang dikuasai secara bersama yang melambangkan kesatuan dari keluarga itu. Misalnya,m di daerah Sulawesi Utara, khususnya pada masyarakat Minahasa, barang kalakeran adalah juga milik famili yang tidak dapat dibagi-bagikan, kecuali jikalau semua anggota yang berhak menghendaki serta menyetujui barang itu dibagi-bagi. Juga, terdapat misalnya, sebidang tanah yang selalu dipertahankan menjadi milik famili, yaitu yang di sebut tanah wawakes un teranak. Tanah yang demikian ini mempunyai fungsi sebagai tanah pengikat yang riil terhadap tali kekeluargaan famili, jadi sebagai lambang persatuan dan kesatuan famili. Di samping itu tanah demikian ini lazimnya merupakan sebidang tanah yang sudah berkurang artinya apabila akan dibagi merata di antara para ahli warisnya.

Suatu contoh kongkret dari tanah warisan yang tidak dibagi-bagi yang sampai saat ini masih dapat ditemui adalah tanah warisan dari suatu leluhur yang melahirkan beberapa keluarga besar, yaitu keluarga Makaminan, keluarga Tasin dan keluarga Basiri-Ahoho, dan beberapa keluarga lagi. Pada beberapa keluarga ini terdapat sebidang tanah warisan yang merupakan  lambang bahwa mereka adlah kesatuan keturunan (“famili”). Hasil dari sebidang tanah yang merupakan kebun sagu (duri) ini dibagi-bagikan  kepada keluarga di atas. Keadaan yang di gambarkan di atas ini ditemui pada keluarga yang berdomisili di desa Enemawira, Kecamatan Tabukan Utara di Kabupaten Sangihe Talaud.

Rupa-rupanya di Jawa, ditemui juga tentang harta pentinggalan yang tidak dibagi-bagi. Ter Haar menyatakan bahwa (terjemahan bebas):
“pakaian dan pengurusan harta peninggalan di tangan salah satu dari keluarga yang berhak(Jawa:giliran), terkadang di tangan masing-masing dari mereka (secsra sebagian), akan tetapi dapat juga di tangan salah satu diantara mereka. Bilamana tidak ada kesepakatan, maka tidak ada kewajiban untuk membagi atau menyerahkan hasil daripada harta itu, dan sudah barang tentu dikemudian hari ( bila diadakan pembagian harta) tidak dapat dituntut oleh ahli waris bersama tentang penggantian daripada hasil harta peninggalan yang sudah dipungut oleh ahli waris yang memegangnya yang dipergunakan untuk dirinya sendiri itu, tuntutan mana, seperti telah pernah terjadi, sekali tempo diajukan kemuka Landraad di Jawa”. (B Ter Haar Bzn 1950:207).
Hanya saja apakah harta peninggalan yang tidak dibagi-bagi di anatara keluarga sebagai lambang kesatuan keluarga seperti di Jawa ini masih ada saat sekarang ini, kiranya perlu unutk diteliti lagi. 
c. Hak dan kewajiban ahli waris
Di dalam bagian titik tolak dan ruang lingkup telah dinyatakan bahwa hak dan kewajiban merupakan materi dari peristiwa hukum. Hal ini adalah tepat, oleh karena peristiwa hukum adalah peristiwa yang menimbulkan hak (maupun kewajiban) atau menghapuskan (maupun kewajiban).

Oleh karena dengan meninggalnya si pewaris dan meninggalkan harta warisan, maka perlu ditinjau mengenai hak dan kewajiban dari ahli waris sehubungan dengan harta warisan yang diterima itu.
Pada beberapa masyarakat yang menganut prinsip garis keturunan patrilineal dengan sistem kewarisan mayorat, khususnya pada masyarakat Lampung. Rizani Puspawidjaja dengan kawan-kawannya menyatakan bahwa ahli waris mempunyai hak untuk menikmati harta warisan, terutama untuk kelangsungan hidup keluarganya dan berkuasa untuk untuk mengusahakan sebagai sumber kehidupan, baik untuk pribadi bersama keluarga dan untuk adik-adiknya. (Rizani Puspawidjaja, 1981).

Pada masyarakat Minangkabau, dengan mengingat bahwa sistem pewarisannya adalah kolektif, maka harta warisan itu merupakan harta pusaka milik dari suatu keluarga. Barang-barang yang demikian tiu hanya dapat dipakai ssaja oleh segenap warga keluaga yang bersangkutan, dan tidak dapat dimiliki oleh warga keluarga itu secara individual. Jadi, para anggota keluarga itu hanya mempunyai hak pakai saja. Demikian juga halnya dengan masyarakat Hitu di Ambon.

Pada masyarakat-masyarakat lainnya, pewarisan merupakan satu cara untuk memperoleh hak milik; jadi, dengan dibaginya warisan itu, maka para ahli warisitu memperoleh hak milik atas benda atau barang tersebut.

Apabila tentang masyarakat Lampung telah diuraikan mengenai hak yang di peroleh ahli waris, maka perlu dikemukakan tentang kewajiban dari ahli waris itu. Kewajiban utama dari ahli waris adalah menjaga dan memelihara keutuhan harta warisan, mengusahakan harta warisan untuk memelihara kelangsungan hidup dan memenuhi kebutuhan adik-adiknya dalam berbagai bidang kehidupan.

Di daerah-daerah Patanuhi (suku Batak), Kalimantan (suku Dayak) dan di Bali, para ahli waris mempunyai kewajiban membayar hutang pewaris, asal saja penagih hutang itu memberitahukan haknya kepada ahli waris tersebut. Demikian juga kewajiban untuk menyelenggarakan upacara mayat serta menguburkannya adalah demikian penting, sehingga seorang ahli waris dengan tidak setahu waris-ahli waris lainnya boleh menjual sebagian harta peninggalan untuk membiayai penguburan dimaksud.

Selain dari kewajiban di atas, terdapat kewajiaban lain, yaitu menyelenggarakan upacara atau selamatan (sedekahan) dalam memperingati hari meninggalnya pewaris. Malahan dalam masyarakat Indonesia terdapat tradisi untuk mengadakan selamatan (sedekahan) yang dimulai dari tiga hari setelah wafatnya, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, setahun, dan seribu hari. Bahkan untuk masyarakat di Jawa Tengah dan Jawa Timur, terdapat kewajiban untuk memperingati meninggalnya seseorang itu, setahun, dua tahun dan seribu hari setelah meninggalnya seorang. Pada masyarakat Lampung, terdapat suatu kecenderungan untuk memperingati hari meninggalnya pada setiap tahun, sehingga ada upacara bahwa masyarakat Lampung tidak memperingati ulang tahun dari mereka yang hidup akan tetapi memperingati ulang tahun dari hari meninggalnya seorang (sumber: hubungan pribadi). Pada umumnya biaya-biaya untuk mengadakan selamatan di atas, ditanggung oleh ahli waris.

Objek hukum waris
Pada prinsipnya yang merupakan objek hukum waris itu adalah harta keluarga itu. Di muka telah dinyatakan bahwa harta keluarga dapat berupa: 
a. Harta suami atau istri yang merupakan hibah atau pemberian kerabat yang dibawa kedalam keluarga, 
b. Usaha suami atau istri yang diperoleh sebelum dan sesudah perkawinan,
c. Harta yang merupakan hadiah kepada suami-istri pada waktu perkawinan.
d. Harta yang merupakan usaha suami-istri dalam masa perkawinan

Yang menjadi pertanyaan kita adalah bahwa dari daftar harta yang telah diungkapakan di atas, harta yang mana sajakah yang dapat menjadi harta yang diwariskan?
Pada masyarakat di Nusa Tenggara Timur, menurut Hidayat Z.M. (1976:56) harta yang dapat diwariskan adalah:

a. Harta milik sendiri dari ayah yang berupa pusaka,
b. Harta milik ibu, berupa:
I) Milik sendiri
II) Milik “bua fua mua” (“milik bawaan”)

c. Harta Ue Malak (harta milik usaha bersama).
Sedangkan pada masyarakat Bali, berdasarkan hasil diskusi kedudukan wanita dalam hukum waris menurut hukum adat Bali, maka harta warisan itu terdiri dari:

a. Harta pusaka yang terdiri dari: 
I) Harta pusaka yang tidak bisa dibagi, ialah harta warisan yang mempunyai nilai magis-relegius, contohnya adalah tempat ibadah (pemerejanan, sanggah), alat pemujaan (siwa krana), keris yang bertuah, dan lain-lain.
II) Harta pusaka yang dapat dibagi adalah harta warisan yang tidak mempunyai nilai magis-relegius, misalnya sawah, ladang dan lain-lain.
b. Harta bawaan, yaitu harta yang dibawa baik oleh mempelai wanita maupun pria ke dalam perkawinan, misalnya: jiwa dana, tatadan, akskaya.
c. Harta perkawinan, yaitu harta yang diperoleh dalam perkawinan.
d. Hak yang didapat sdari masyarakat, misalnya: bersembahyang di kahyangan Tiga, mempergunakan kuburan, melakukan upacara pitra yadnya (I Gde Wayan Pangkat, dalam V.E. Korn, 1972: 47).
Dari penelian lapangan yang dilakukan pada masyarakat Lampung pada 1981, diperoleh keterangan bahwa jenis dan wujud harta warisan adalah:
a. Alat-alat upacara adat,
b. Gelar dan kepangkatan dalam masyarakat,
c. Seluruh harta kekayaan, baik yang merupakan kekayaan yang berwujud benda tetap maupun benda berherak (Rizani Puspawidjaja dkk, 1981: 46). 
Sedangkan klasifikasi dari harta warisan itu dapt berupa:
a. Harta pusaka, yaitu suatu benda yang tergolong kekayaan di mana benda tersebut dianggap mempunyai kekuatan magis,
b. Harta bawaan, yaitu sejumlah harta kekayaan yang dibawa oleh (calon) istri pada saat pelaksanaan perkawinan atau sesan,
c. Harta pencaharian, yaitu harta yang diperoleh oleh suami-istri dalam ikatan perkawinan, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri,
d. Harta yang berasal dari pemberian seseorang, kepada suami maupun istri atau kepada dua-duanya.
Konsekuensi dari berlakunya sistem kewarisan mayorat laki-laki nagi masyarakat Lampung adalah bahwa anak laki-laki tersebut mempunyai kewajiban tidak saja terbatas pada harta warisan, akan tetapi andai kata si pewaris meninggalkan sejumlah hutang, di mana jumlah hutang tersebut melibihi nilai harta peninggalan, maka ahlin wari/anak laki-laki tersebut berkewajiban penuh untuk melunasi atau berlapang dada menerima tanggung jawab tersebut.
Dari sekelumit data di atas, maka dapatlah dinyatakan bahwa harta warisan itu dapat berupa barang-barang yang berujud benda dan barang-barng tidak berujud benda, dan dapat diwariskan kepada ahli waris. Termasuk dalam barng-barang yang tidak terujud benda adalah hutang yang dibuat dan belum dilunasi oleh pewaris semasa hidupnya.
Di muka telah dinyatakan bahwa mengenai hutang si pewaris, pada dasarnya merupakan tanggung jawab dari (para) ahli waris (Batak, Dayak, Bali dan Lampung), yang harus melunasinya, akan tetapi menurut ter Haar harus dibedakan menjadi dua kategori yaitu:
a. Ahli waris adalah bertanggung jawab atas hutang-hutangnya peninggal warisan,
b. Harta poeninggalan dan belum dibagi-bagi yang dipergunakan untuk membayar hutang si peninggal warisan.
Bertitik tangkal dari konsepsi bahwa harta yang ditinggalkan dan belum dibagikan itu dapat dipergunakan untuk membayar hutang si pewaris, mengakibatkan adanya ketentuan tidak dijalankan sebelum semua hutang dibayar lunas, dan ketentuan bahwa hanyalah sisa harta peninggalan (yaitu keseluruhan harta peninggalan di kurangi dengan harta yang digunakan untuk melunasi hutang) yang diwariskan.
Dengan demikian, maka apabila kasus di atas misalnya, terdapat pada masyarakat yang menganut sistem kewarisan individual, maka para ahli waris hanya akan memperoleh harta warisan yang merupakan sisa dari harta peninggalan yang telah dikurangi dengan harta yang dibayarkan untuk pelunasan hutang. Harta waris inilah yang dibagi-bagikan.








DAFTAR PUSTAKA
Soekanto, Soerjono. Hukun Adat Indonesia. Rajawali Pers, Jakarta, 2013.
Setiady, Tolib, S.H., M.Pd., M.H. Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan. Alfabeta, Bandung, 2013.
Hadikusuma, Hilman. Prof. H., S.H. Hukum Waris Adat. PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.




0 Response to "HUKUM WARIS ADAT II Proses Penerusan Harta Peninggalan atau Warisan, Hutang Si-Waris, dan Biaya Penguburan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel