Warna-Warni di Organisasi Dakwah: Sebuah kekuatan
Agustus 10, 2014
Add Comment
Oleh: Sulaiman Tahir
(KADEPT.HUMAS KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga)
Indah ketika kita menengok ke masa lampau, ke masa dimana bangunan dakwah Islam masih begitu dini. Tatkala Rasulullah mendapat wahyu pertama sebagai awal “pelantikan”nya menjadi seorang utusan Allah, kemudian hari-hari berikutnya ketika Beliau harus mendakwahkan amanah besar -yang Allah letakkan di pundaknya- secara sembunyi-sembunyi. Dan musim pun berganti, dakwah Beliau mulai nampak ke permukaan; terang-terangan (tanpa melakukan peperangan), ini adalah tahap kedua dari dakwah Nabi. Kemudian tahap terang-terangan dengan memerangi orang-orang yang menyerang dan memulai peperangan atau kejahatan terhadap Islam, tahap berikutnya adalah terang-terangan dengan memerangi setiap orang yang mengahalangi dakwah Islam dan anti agama atau penyembah berhala. Demikianlah dakwah itu mulai menjalar ke seantero Makkah, ke madinah dan terus melebarkan sayapnya ke negeri-negeri sekitar, dakwah Islam tumbuh sumbur bagai jamur yang tumbuh di musim hujan.
Aral dan rintangan datang silih berganti, bak ombak yang selalu tak bosan menghampiri pantai. Entah itu berupa tantangan dari internal Islam sendiri, maupun yang datang dari luar Islam. Tapi dakwah itu tiada padam akan semua yang menghantamnya, tiada goyah hanya karena aral dan rintangan yang datang silih berganti, justru dakwah itu terlihat begitu indah, perkasa dan semakin membuat orang terpana, semakin banyak masyarakat ketika itu malah jatuh hati dengan dakwah islam. Pengikut Nabi pun terus dan terus bertambah. Dakwah beliau tetap eksis dan terus mengalir melintasi waktu-waktu bahkan melintasi tempat. Begitu menakjubkan.
Mengapa “gerakan” dakwah Nabi begitu hebat hingga mampu menepis gejolak yang terjadi dalam internal Islam dan bahkan sanggup melibas aral dan rintangan yang selalu menghiasi perjalanannya?. Nabi -selain karna bimbingan wahyu- tentu tak bekerja sendiri, dia punya “kader-kader” yang sangat militan dan loyal, dia punya patner-patner kerja yang luar biasa yang telah Beliau tarbiah dengan begitu baik. “kader-kader” atau patner-patner kerja Nabi tentu sangat beragam, mereka dari kabilah yang tidak selalu sama, mereka dari suku yang tidak pula selalu sama bahkan mereka dari latarbelakang pribadi, sosial dan ekonomi yang juga tidak selalu sama. Lalu bagaimana Rasulullah menyikapi itu sehingga mereka menjadi satu kesatuan yang luar biasa?, apakah kemudian Rasulullah “memaksakan” diri untuk menyeragamkan mereka atas nama dakwah?.
Bukan penyeragaman tapi penyelarasan
Perbedaan itu adalah fitrah, dan tentu Rasulullah sebagai “penikmat” bimbingan wahyu yang pertama adalah orang yang paling faham akan hal itu. Karna dengan adanya perbedaan, disitulah akan mucul keseimbangan. Rasulullah tidak memilih sikap untuk menyeragamkan “kader-kader”nya, karna Beliau tahu bahwa itu bukan keputusan sikap yang tepat. Sikap yang Rasulullah pilih adalah semangat menyelaraskan “kader-kader”nya, Beliau ingin “kader-kader”nya menjadi warna-warna yang akan membentuk pelangi yang indah, pelangi yang akan menghiasi “gerakan” dakwahnya. Bayangkan jika semangat “penyeragaman” yang Rasulullah pilih, maka percayalah bahwa tak akan tercipta pelangi. Karna pelangi bukan berbentuk atau terbentuk dari satu warna, tapi ada multi warna yang membangunnya. Betapa tidak sedap dipandang mata andai saja pelangi hanya berwarna merah misalnya, atau berwarna kuning misalnya, atau putih saja misalnya, atau mono warna lainnya. Hilanglah keindahannya, tiada lagi pesona dan daya tariknya.
Begitulah “gerakan dakwah” Rasulullah, warna-warni “kader-kader”nya adalah instrumen-instrumen yang oleh Rasulullah diselaraskan jalannya, diselaraskan tujuannya, diselaraskan fikrohnya, diselaraskan visi dan orientasi dakwahnya untuk membentuk sebuah kumpulan warna yang berbaris rapih nan indah; pelangi. Pelangi yang dibingkai dengan syahadat dan semangat dakwah yang luar biasa dan begitu mempesona. Para sahabat Rasulullah adalah pribadi-pribadi menarik yang penuh warna, karakter mereka yang berbeda-beda, dari yang lemah lembut, pemalu, periang, biasa-biasa saja dan sampai yang paling galak, begitu beragam. Namun Rasulullah datang tidak untuk menghapus karakter-karakter khas para “kader-kader”nya atau umat manusia umumnya, selama itu tidak bertentangan dengan aqidah yang dibawa oleh Beliau. Rasulullah tidak memaksakan agar semua sahabatnya menjadi orang-orang yang low profil misalnya, atau menjadi pribadi-pribadi yang lunak, lemah lembut, menjadi pendiam, atau menjadi pribadi-pribadi yang kasar dan keras. Tidak ada penyeragaman semacam itu.
Kita bisa melihat salah satu contoh dari sahabat-sahabat Rasulullah; Abu Bakar dan Umar bin Khattab, dua sosok sahabat yang begitu kontras. Abu bakar adalah sosok pribadi yang lemah lembut dan sikapnya yang begitu tenang, sedangkan Umar bin Khattab adalah seorang sahabat yang keras dan tegas. Mereka berdua sama-sama hidup bersama Rasulullah dan berdiri teguh untuk berjuang bersama Rasulullah. Namun Rasulullah tidak pernah merasa risih dengan kedua pribadi yang berbeda itu. Kalaupun terjadi permasalahan, mereka dengan segera dapat saling memahami dan tetap dalam barisan yang kokoh, hingga hari-hari mereka di lingkupi ukhwah yang kokoh.
Perbedaan adalah sebuah kemestian, manusia sejak dilahirkan telah membawa perbedaan-perbedaan, termasuk juga karakter (walau memang karakter juga dapat dibentuk oleh lingkungan dimana kita beradaptasi). Perbedaan-perbedaan itulah yang ketika berkumpul dalam sebuah jama’ah yang dibingkai keimanan dan ketaatan, maka akan membentuk sebuah bangunan kekuatan yang kokoh. Rasulullah sangat faham akan keadaan sahabat-sahabatnya yang begitu beragam karakternya serta asal kabilahnya dan itu tidak dipandang sebagai masalah oleh Beliau. Karna sekali lagi, tentu Rasulullah sangat faham akan berbedaan itu. Warna-warni karakter khas sahabat-sahabatnya itu, justru menjadi kekuatan tersendiri bagi dakwah Rasulullah. Inilah salah satu sebab mengapa “pergerakan” Rasulullah begitu kuat dalam menepis duri-duri dakwah yang tumbuh dalam tubuh pergerakannya maupun yang datang dari luar “pergerakan dakwahnya”, sehingga dakwah Islam cepat tersebar dan sangat kokoh ketika itu.
Bagaimana dengan organisasi dakwah?
Tak dapat kita pungkiri bahwa organisasi-organisasi dakwah seperti LDK, KAMMI dan yang lainnya itu adalah dibangun atau diisi oleh warna-warna yang tidak selalu sama. Ada multi warna disana, entah warna yang dimaksud adalah suku, asal daerah, latarbelakang ekonomi, sosial, karakter dan juga pengalaman. Sehingga memang membutuhkan strategi yang tepat dalam menyikapi itu, agar apa yang menjadi cita-cita besar pergerakan/organisasi tidak kemudian menjadi remang-remang dan menjadi sesuatu yang terlampau mustahil untuk diwujudkan hanya karena tak becus mengurus strategi dan menentukan sikap.
Maka menjadi sebuah kemestian untuk kita, para aktivis dakwah ini (khususnya KAMMI) adalah membuka kembali lembaran-lembaran sejarah dakwah Rasulullah. Karna Rasulullah adalah da’i dan “aktivis” yang paling sukses mengatur “pergerakannya”. Dia mempunya strategi yang jitu dalam meng-handle beraneka ragam warna kader-kadernya, dan itu penting untuk kita tiru. (saya mengkhususkan warna ini sebagai karakter, bukan warna dalam artian suku, daerah dan yang lainnya).
Kita semestinya harus sadar dan mengakui bahwa warna-warni dalam organisasi dakwah ini (KAMMI) adalah suatu keniscayaan, karna mau tidak mau itu pasti ada. Hanya terkadang kita tak “ikhlas” menerima kenyataan itu, karna ketidak-“ikhlasan” itu membuat kesangsian dalam diri kita dan kemudian dengan tergesa-gesa menghakimi bahwa KAMMI bukan lagi organisasi yang benar-benar Islami, sehingga muncullah kalimat-kalimat kekecewaan; “sepertinya KAMMI tak seperti yang saya kira, saya tak bisa berlama-lama disini”, “KAMMI bukanlah wadah perjuangan yang Islami, orang-orangnya tak lemah-lembut, tidak kalem juga tidak ramah, saya harus hengkang dari sini karna kenyamanan itu tak saya dapatkan disini”, dan sederet kalimat kekecewaan lainnya (Namun saya berdoa’a semoga kalimat-kalimat semacam itu hanya ada dalam kekhawatiran saya yang tertuang dalam tulisan ini). Maka dengan sendirinya kita malah merusak warna-warna itu sehingga pelangi pun tak akan terbentuk, kita membuat kesuraman bukan keindahan. Parameter yang kerdil kita pakai untuk mengukur keislamian KAMMI dan para aktivisnya.
Kita tak boleh memaksakan kader-kader KAMMI untuk menjadi pribadi/karakter yang sesuai dengan standar yang kita buat sendiri dan sesuai dengan apa yang ideal menurut kita sendiri. KAMMI mestinya menjadi wadah yang disana keindahan dakwah itu memancarkan sinarnya, sinar dari warna-warna yang beragam. Kita tak boleh “kecewa” karna ternyata di KAMMI bukan hanya kumpulan orang-orang yang kalem, lemah lembut, pendiam, yang ketika ketemu lawan jenis kepalanya menunduk, atau standar ideal lainnya yang kita paksakan adanya. Biarkan kader-kader itu mewarnai KAMMI dengan karakter-karakter khas mereka, selama itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai dakwah/islam dan juga tidak menyalahi tercapainya cita-cita bersama. Tak boleh ada penyeragaman.
Biarkan sosok lemah lembut layaknya Abu bakar itu ada di KAMMI, biarkan sosok keras dan tegas layaknya Umar bin Khattab itu ada di KAMMI, atau karakter yang pemalu, pemurah dan penuh kelembutan layaknya Usman bin affan, atau sosok yang selalu ceria seperti Ali bin Abi thalib, atau sosok yang selalu rapi dan sistematis layaknya ‘Abu Ubadah, atau sosok yang congkak/sombong, namun sombong yang diletakkan ketika menghadapi musuh layaknya Abu Dujanah, atau sosok seperti Khalid yang hanya mampu menghafal sedikit ayat, namun militansinya sangat luar biasa ketika berdakwah dan berperang bersama Rasulullah, atau seperti Khuzaifah sang intelijen, yang berbaur bersama orang-orang kafir, setia dilingkungan orang kafir, namun hati dan pikirannya adalah kemenangan dakwah islam, atau sosok yang low profil layaknya Sa’id ibnu Zaid dan sederet karakter-karakter para kader-kader Rasulullah lainnya. Biarkan berbagai macam karakter-karakter itu bersatu di KAMMI, biarkan mereka saling melengkapi dan berkontribusi sesuai karakter mereka, dan sekali lagi selama itu tak menyalahi nilai-nilai Islam dan cita-cita besar pergerakan.
Kita jangan mengeluh atau kecewa dengan kenyataan yang ada, tak boleh kita menghujat warna-warna yang berserakan didalam tubuh jama’ah ini, karna ketika kenyataan itu tak pernah menjadi seperti apa yang kita inginkan, maka klimaksnya adalah kita merasa tak sejalan dan keluar dari jama’ah ini. Harus diingat bahwa kita disini bukan sebagai pembeli di pasar, yang datang melihat-lihat dagangan, menawarnya dan ketika tak sesuai selera kitapun memutuskan untuk pergi ke lapak-lapak berikutnya untuk melakukan hal yang sama seperti pada lapak sebelumnya. Kita juga bukan juri masakan yang hanya mencicipi masakan, jika tak sesuai lidah kita, kita komentar sana-sini dan ketika pada makanan yang sesuai dengan lidah kita, kitapun betah melahap makanan itu.
Kita disini bukan mencari tempat untuk senang-senang, kita disini bukan untuk duduk manis menunggu makanan jatuh dari langit dan ada bidadari yang menyuapkan makanan itu ke mulut kita. Bukan...!!!. Disini kita adalah penerus, pembaharu, desainer, dekorator dan juga penggerak dakwah. Meneruskan perjuangan pendahulu kita dan bukan sebagai penikmat, meluruskan kekeliruan pendahulu kita dan bukan malah latah, membuat strategi dakwah dan bukan meratapi medan dakwah, mengiasi gerakan dakwah dan bukan membuat kesuraman, ikut melakukan “serangan darat” dan bukan menjadi penonton setia. Disini kita bukan mencari atau merubah karakter orang menjadi apa yang kita inginkan, disini adalah bagaimana kita bersatu dalam barisan yang multikarakter, membuat warna-warna itu saling melengkapi dengan formasi yang indah, seindah pelangi dan kemudian bergerak melakukan kerja-kerja dakwah bersama-sama. Karna itulah yang akan membuat jama’ah ini kuat.
Ibarat sebuah istana, jama’ah ini membutuhkan pondasi, maka biarkan warna-warna yang kokoh itu menjadi pondasinya. Jama’ah ini membutuhkan tiang, maka biarkan warna-warna yang tegas itu menjadi tiangnya. Jama’ah ini membutuhkan dinding, maka biarkan warna-warna yang cerah itu menjadi dindingnya. Jama’ah ini membutuhkan atap, maka biarkan warna-warna yang meneduhkan itu menjadi atapnya, biarkan warna-warna itu berada pada posisi mereka masing-masing. Itulah kekuatan dakwah ini.
Warna-warni dakwah sejatinya adalah kekuatan, bukan suatu masalah...
Wallaahul-muwaffiq ila aqwamit-thariq wa huwal hadi ila sawa’is- sabil.
Wallahua’lam.
0 Response to "Warna-Warni di Organisasi Dakwah: Sebuah kekuatan"
Posting Komentar