-->

Wahyu dan Tantangan Ideologi Global


                                                           Oleh: Achmad Mujahid Syayyaf
                                                  (KADEPT.SOSMAS KAMMI UIN SUKA)


A. Latar Belakang
Ketika perdaban Islam memasuki babak baru yaitu era milenium, umat Islam menghadapi tantangan berat karena harus mengadapi ideologi global yang terus berkembang. Ideologi global ini terus beranak pinak hingga muncullah berbagai macam paham, semisal, liberalisme, sekulerisme, feminisme dan lain-lain. Paham-paham tersebut menimbulkan keresahan ditengah-tengah masayarakat Islam bahkan non-Islam. Bukan hanya itu saja, ideologi ini juga mengusik keberadaan wahyu dalam Islam. Melalui orientalis dan koleganya ideologi-ideologi tersebut di drop keseluruh penjuru negara Islam dan non-Islam.
    Dalam aspek keilmuan umat muslim kususnya yang awam termakan Teori Evolusi-nya Charles Darwin, penulis masih ingat pelajaran sejarah di Sekolah Menengah Atas, disitu diterangkan bahwa asal-usul manusia berasal dari nenek moyang terdahulu, yaitu monyet. Menurut Darwin, aneka spesies makhluk hidup tidak diciptakan secara terpisah oleh Tuhan, tetapi berasal dari nenek moyang yang sama dan menjadi berbeda satu sama lain akibat kondisi alam yang berubah (Teori Keruntuhan Evolusi: Harun Yahya : pakdenono2005). Pernyataan ini telah melupakan eksistensi wahyu Allah SWT, yang merupakan sumebr informasi dan pengetahuan.Pernyataan Charles Darwin dipatahkan dengan penjelasan dalam teks Al-Qur’an bahwa, manusia diciptakan melalui sari pati tanah, kemudian saripati tanah dijadikan nutfah, nutfah berubah menjadi segumpal darah, dari segumpal darah berubah menjadi segumpal daging, dan segumpal daging dijadikanlah tulang-belulang, selanjutnya tulang-belulang dibalut dengan daging, pada akhirnya jadikanlah tulang-belulang yang terbungkus daging tersebut makhluk hidup yang berbentuk. Lihat surah Al-Mukminun ayat 12-14:
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. " (QS al-Mukminun : 12-14).
Fenomena penciptaan manusia ini diakui kebenarannya oleh Prof. Emeritus Keith Moore, ilmuwan dunia tekemuka dalam bidang Anatomi dan Embriologi. Dalam Ebook Bukti Kebenaran Al-Qur’an: Abdullah M. al-Rhaili: 2003, dijelaskan di dalamnya kekaguman Prof. Keith Moore terhadap kebenaran al-Qur’an. “Ini merupakan kesenangan yang besar bagi saya untuk membantu mengklarifikasi pernyataan di dalam al-Qur’an tentang perkembangan manusia. Telah jelas bagi saya bahwa pernyataan yang datang kepada Nabi Muhammad saw pasti dari Allah atau Tuhan, sebab hampir semua pengetahuan tidak ditemukan sampai beberapa abad terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
Dalam konteks sejarah Islam di Indonesia misalnya, oleh orientalis dengan sengaja dimanipulasi melaui penulisan buku-buku sejarah Islam Indoensia. Seorang tokoh Kristen, Eka Darma Putera, dalam bukunya, Pancasila: Identitas dan Modernitas (1997 : 41), menerangkan bahwa, Islam jauh lebih berhasil menanmkan pengaruhnya pada seluruh lapisan rakyat dibandingkan kebudayaan asli dan Hindu. Ia berhasil mencapai rakyat biasa dan menjadi agama mayoritas penduduk Indonesia. Namun demikian, ia tidak menciptakan sesuatu peradaban baru. Sebaliknya, ia ia harus menyesuaikan diri dengan perdaban yang telah ada. (M. Isa Anshory: Jurnal Islamia Republika, edisi 13/08/2009).
Masih teringat isu Perkawinan Sesama Jenis yang didukung oleh mahasiswa Fakultas Syari’ah di Semarang tahun 2004. Mereka menerbitkan sebuah Jurnal dengan judul, “Indahnya Kawin Sesama Jenis”, dalam pengantar redaksi jurnal tersebut tertulis, “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sesama jenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sesama jenis. Sebab Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya meciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebebasan”. Pada 11 November 2009 dalam sebuah seminar bertemakan “Nikah Yes, Gay Yes !”. Seminar dihadiri ratusan mahasiswa. Seorang pembicara dalam seminar tersebut mengungkapkan, bahwa kaum Luth diazab bukan karena kasus homoseks, tetapi karena menghilangkan eksistensi Nabi Luth (Lihat Majalah Islamia edisi Kamis, 10 Desember 2009, “HAM dan Kebebasan oleh Dr. Adian Husaini). Pendapat semacam itu sesungguhnya tidak dapat diterima secara akal dan telah menyalahi fitrah manusia. Bahkan atas nema HAM dan Kebebasan berekspresi, fenomena tersebut dihalalkan tanpa harus melihat pada al-Qur’an dan Hadist.
Maka, dari data di atas, perlunya dipertegas kembali hubungan antara wahyu dengan ilmu dan peradaban Islam, yang selama ini sering terlupakan oleh kebanyak umat Islam. Dan perlunya pembahasan yang lebih mendalam mengenai tantangan umat Islam di era milenium ini. Serta bukti-bukti kebenaran al-Qur’an yang sudah terbukti kebenarannya di zaman modern sekarang ini.
B. Kebenaran Wahyu Dengan Sains
Pandangan hidup Islam bersumber pada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi Islam adalah agama dan peradaban. Dalam konteks keilmuan kontemporer yang sekarang sedang berkembang, perlu adanya sikap kritis dari umat Islam dalam mengambilnya. Pasalnya tidak semua keilmuan yang berasal dari Barat dapat diserap dan diterapkan dalam tubuh Islam. Worldview sekuler dijadikan pegangan, sehingga sesuatu dapat dikatakan ilmu jika dapat di terima oleh akal dan dapat dilihat serta empiris. Barat tidak mempercayai adanya alam metafisika dan lebih mengutamakan alam fisik Sedangkan dalam Islam sumber ilmu ialah wahyu Allah SWT yang dituangkan dalam teks al-Qur’an. Tidak mengenyampingkan alam fisika, namun memadukan kedua-duanya.
Dalam Majalah Islamia edisi Kamis, 12 Maret 2009, Ir. Nu’im Hidayat menulis artikel dengan judul “Sang Ilmuwan dan Gagasannya”, dijelaskan bahwa Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas berpandangan, jika wahyu dalam perdaban Barat telah terdistorsi dan bahkan tercampakkan dari wilayah ilmu pengetahuan, maka Islamisasi ilmu justru menegaskan wahyu adalah sumber ilmu. Dengan wahyu, realitas dimaknai mencakup alam fisik dan non-fisik. Sedangkan tanpa wahyu, realitas hanya dipahami terbatas pada alam nyata yang dianggap satu-satunya realitas.
Prof. Freddy Permana Zen, D. Sc, staf dosen pada program studi Fisika Institut Teknologi Bandung (IPB). Lebih dari seratus buah papernya telah termuat dalam jurnal internasional dan Nasional, seperti Modern Physics Letters A6, International Journal of Modern Pyisics A8, Progress of Theoretical Physics dan beberapa karya lainnya telah mendapatkan penghargaan Satyalancana  Karya Satya X pada tahun 2001, Satyalancana Wira Karya pada tahun 2003 dari Presiden Republik Indonesia, dan pada tahun 2006 memperoleh HABIBIE AWARD dari The Habibi Center dalam bidang Fundamental Science. Dia menjelaskan, jika temuan sains itu berbtentangan dengan al-Qur’an sebagai keyakinannya, maka temuan sains itu pastilah keliru. Jadi terdapat semacam hirarki kebenaran.
Dari penjelasan bang Freddy, maka sudah jelas terdapat hubungan kuat antara kebanaran dalam wahyu dengan realitas kebenaran yang dikaji secara ilmiah. Ia menambahkan, dalam Fisika, yang perlu harus diwaspadai adalah filsafat sainsnya, apakah sesuai dengan aqidah Islam atau tidak? Freddy menentang filsafat-filsafat saintis yang tidak sesuai dengan Islam, misalnya “cogito ergo sum” atau pandangan bahwa alam ini tak bermula dan berakhirdan pandangan atau teori lain. Penjelasan Prof. Freddy bisa dikatakan bahwa seorang saintis Muslim harus berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunnah Nabi saw, dan segala sesuatunya harus dikembalikan ke kedua sumber tersebut.
Pandangan yang sama juga dilontarkan oleh Prof. Emeritus Keith Moore, yang sudah sedikit dipaparkan pada latar belakang di atas mengenai proses penciptaan manusia yang dijelaskan dalam surah al-Mukminun ayat 12-14, berbunyi:
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. " (QS al-Mukminun : 12-14).
Prof. Moore menjelaskan secara rinci kaitannya ayat di atas dengan hasil penelitiannya, kata alaqah dalam bahasa Arab memiliki tiga arti, yaitu, pacet atau lintah, sesuatu yang tertutup, segumpal darah. Dalam perbandingannya antara pacet atau lintah dengan embrio pada tingkat alaqah, Profesor Keith Moore menemukan persamaan yang besar diantara keduanya. Dia menyimpulkan bahwa embrio pada level alaqah mirip dengan lintah. Arti kata kedua dari alaqah ialah sesuatu yang tergantung. Hal ini dapat dilihat ketika proses penggabungan embro dengan uterus dalam rahim ibu selama masa alaqah. Sedangkan arti ketiga dari kata alaqah adalah segumpal darah, Prof. Moore mengungkapkan selama embrio dalam masa alaqah melalui kejadian di dalam, seperti formasi di dalam pembuluh darah tertutup, sampai putaran metabolisme yang dilengkapi plasenta. Selama fase alaqah, darh ditarik di dalam pembuluh darah dan itulah mengapa embrio tampak seperti segumpal darah, tampak juga seperti lintah. Kedua deskripsi itu dijelaskan secara menakjubkan dengan kata alaqah dalam al-Qur’an.
Hal senada diutarakan oleh Profesor Marshal Johson, Guru Besar Ilmu Anatomi dan Perkembangan Biologi, Universitas Thomas Jefferson, Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat. Ia berkata: “Secara ringkasnya, al-Qur’an tidak hanya menggambarkan bentuk pertumbuhan secara eksternal, tetapi juga menekankan pada fase internal, fase dari sisi dalam embrio, penciptaan dan pertumbuhan, menekankan pada kejadian-kejadian utama yang diakui ilmu pengetahuan zaman sekarang”.
Selama 1400 tahun lamanya Al-Qur’an telah diturunkan dan selama itu  pula Islam telah menggunakannya dan membuktikannya. Hingga era sekarang, melalui sains, kebenaran Al-Qur’an telah terbukti dengan penemuan-penemuan yang dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan dunia melalui penelitian panjang. Allah telah berjanji bahwa suatu saat nanti manusia akan menemukan kebenaran Al-Qur’an dengan petunjuk-petunjuknya yang tersebar di alam dunia.
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu. " (QS Fushshilat : 53)

C. KEBENARAN WAHYU DAN TANTANGANNYA
Terdapat perbedaan yang mendasar dalam peradaban Islam dengan peradaban Barat. Islam menjadikan al-Qur’an dan as-sunnah sebagai sumber peradaban, yang nantinya menjadi karakteristik khas peradaban Islam. Sedangkan peradaban barat mengacu pada asas sekuler, tidak mempercayai alam metafisika yang bersumber wahyu dan lebih mengutamakan alam fisik yang bersumber akal.
Sedangkan dalam kajian kitab suci, secara historis terdapat perbedaan mendasar antara al-Qur’an dan Bible. Bible sendiri telah mengalami beberapa perubahan baik teksnya maupun isinya, dan sudah tidak dapat dipercaya lagi oleh penganutnya. Hal ini terbukti dengan adanya pengakuan sebagian besar ilmuwan dan cendekiawan Kristen, contohnya, Saint Jarome mengeluhkan fakta banyaknya penulis Bible yang diketahui bukan menyalin perkataan yang mereka temukan, tetapi malah menuliskan apa yang mereka pikir sebagai maknanya. Sehingga yang terjadi bukan pembetulan kesalahan, tetapi justru penambahan kesalahan. Disebabkan kekecewaanya terhadap kenyataan seperti itu, maka pada tahun 1720 Master of  Trinity College, R. Bentley, menyeru umat Kristen agar mengabaikan kitab suci mereka, yakni naskah Perjanjian Baru yang diterbitkan pada tahun 1592 versi Paus Clement. Seruan tersebut diikuti oleh munculnya “edisi kritis” Perjanjian Baru hasil suntingan Brooke Foss Westcott (1825-1903) and Fenton John Anthony Hort (1828-1892)
Al-Qur’an sendiri bukanlah tulisan hasil dari pemikiran manusia, namun berupa “bacaan” dalam artian ucapan dan perintah yang diturunkan Allah SWT melalui perantaraan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. Melalui Malaikat Jibril, Nabi Muhammad dibimbing dalam menghafalkan ayat per ayat hingga merasuk ke dalam hati. Fatimah berkata, “Nabi Muhamad memberitahukan secara rahasia, Malaikat Jibril hadir membacakan al-Qur’an kepadaku dan saya membacakannya sekali setahun. Hanya tahun ini ia membacakan seluruh isi kandungan al-Qur’an selama dua kali. Saya tidak berfikir lain kecuali, rasanya, masa kematian sudah semakin dekat (al-Bukhari, Shahih, Fada’il  al-Qur’an: 7). Hal ini menunjukkan bahwa al-Qur’an pada mulanya bukanlah sebuah tulisan namun bacaan yang dihafal, diingat dan dipahami, yang kemudian disbarkan melalui lisan kelisan kepada shahabat.
Al-Qur’an juga dicatat dengan menggunakaan berbagai media tulisan seperti, kayu, tulang, daun dan hingga kertas, dengan inisiatif para shahabat catatan-catatan al-Qur’an dikumpulkan berdasarkan periwayatan langsung dan mutawatir dari Nabi Muhammad. Mulai dari masa kepemimpinan Kahlifah Abu Bakar as-Siddiq sampai Khlaifah Utsman bin Affan r.a. Sejak zaman dahulu, yang dimaksud dengan “membaca” al-Qur’an adalah “membaca dari ingatan. Tulisan berfungsi sebagai penunjang semata. Ayat-ayat al-Qur’an dituangkan menjadi tulisan ke atas tulang, daun, kertas dan sebagainya, berdasarkan hafalan, bersandarkan apa yang sebelum tertera dalam ingatan sang Qari’/Muqri’. Proses transmisi semacam ini, dengan isnad secara mutawattir dari generasi ke genarasi, terbukti berhasil menjamin keutuhan, keotentikan al-Qur’an sebagaimana diwahyukan oleh Allah SWT melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw dan diteruskan kepada para shahabat, demikian hingga hari ini.
Semua yang dilakukan shahabat adalah bentuk ikhtiar penjagaan keaslian teks dan isi kandungan al-Qur’an, hingga sekarang bahkan masa depan masih dipercaya dan dipegang erat umat Islam. Hal inilah yang membedakan antara Al-Qur’an dengan kitab-kitab lainnya.
Namun, orientalis tidak diam begitu saja, mereka mencoba melakukan studi kritis terhadap al-Qur’an seperti yang telah dilakukanya terhadap Bible dan Kitab Suci Yahudi. Alphonse Mingana, guru besar di Universitas Brimingham, Inggris, mengumumkan. “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap teks Al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani”. Hal ini dilakukan tiada lain untuk menggiring agar umat Islam tidak lagi mempercayainya dan bahkan menyingkirkannya. Mengutip tulisan Akmal Sjafril dalam Jurnal Islamia edisi Kamis, 21 September 2010 dengan judul “Menyerang Al-Qur’an”, Belakangan muncul seorang misionaris-orientalis yang menggunakan nama samaran Christoph Luxembuerg, dalam bukunya Luxemberg mengklaim bahwa: (1) Bahasa Al-Qur’an seberanya bukan bahasa Arab, dan sebenarnya harus merujuk pada bahasa Syro-Aramaik yang konon menjadi lingua franca pada masanay; (2) Selain bahasanya, ajaran Al-Qur’an diambil dari ajaran agama Yahudi dan Kristen-Syria; (3) karenanya, Al-Qur’an yang sekarang tidak otentik dan perlu diedit kembali. Kasus Luxemberg juga dikaji lebih mendalam oleh Dr. Syamsudin Arif dalam bukunya Orientalis dan Diabolisme Pemikiran: Jakarta: 2008, dalam bukunya sub babnya  berjudul “Orientalis dan Al-Qur’an” ditegaskan, untuk meyakinkan para pembacanya, Luxemburg menunjuk sejumlah contoh, diantaranya: kata qaswarah dalam QS 74: 51 semestinya dibaca qasurah, kata yulhiduna QS 16: 103) menurutnya harus dibaca yalghuzuna dari bahasa Syriak Igez, kemudian kata tahtiha QS 19: 24 diganti dengan nahtiha, sedangkan kata saraban QS 18: 61 oleh Luxenberg diganti syarya, dan lebih parahnya lagi ia mengorek-ngorek surah al-Alaq yang isinya dianggap sama dengan surah al-Fatihah diambil dari liturgi Kristen-Syriak tentang jamuan malam terakhir Jesus.
Bukan hanya dalam konteks studi Al-Qur’an, dalam masalah kesetaraan gender, HAM dan Kebebasan, serta konsep pluralisme agama, al-Qur’an ditentang dan isinya harus diedit lagi karena tidak sesuai dengan kondisi sosial-budaya zaman modern. “Jika umat Islam ingin maju, maka harus merubah pandangan Islam (Islamic worldview) menjadi pandangan sekuler”. Itulah ungkapan yang sering dilontarkan oleh orientalis dan liberalis.
Kasus Lia Eden yang menyatakan dirinya sebagai Nabi dan mengaku mendapat wahyu pada 25 November 2007, mendapat sorotan tajam dari MUI, dan dengan tegas menyatakan haram pada golongan tersebut. Pernyataan status haram oleh MUI terhadap Lia Eden bukan berarti tanpa konekuensi. MUI mendapat hujatan keras dari beberapa kalangan, sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Kampus Islam di Semarang meluncurkan laporan utama: “Majelis Ulama Indonesia Bukan Wakil Tuhan”, selain itu ada yang menghujat MUI harus dibubarkan. Dasar mereka ialah HAM dan kebebasan. Dalam kasus kebebasan beragama, mereka mengacu pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pasal  18 yang ditetapkan PBB, pada 10 Desember 1948, berbunyi:
“Setiap orang mempunyai hak kebebasan berpendapat, keyakinan dan beragama, hak ini termasuk kebebasan untuk mengubah agamanya atau keyakinannya, dan kebebasan baik sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan yang lain dalan ruang publik atau privat untuk memanifestasikan agama dan keyakinannya dalam menghargai, memperingati, mempraktekan dan mengajarkan”. (lihat Majalah Islamia edisi 10 Desember 2009, tema HAM dan Kebebasan: “HAM dan Kebebasan oleh Adian Husaini). Jika umat Islam mengacu pasal ini dalam beragama, berarti umat Islam boleh murtad dan dengan senang hati bebas mengganti agamanya tidak memperdulikan ayat Allah SWT yan berbunyi: “Danmereka akan selalu memerangimu, sampai mereka dapat memalingkan kamu dari agama kamu, jika mereka bisa. Dan barangsiapa yang berpaling (murtad) diantara kamu daripada agamanya, lalu dia matipadahal ia tetap kafir, maka gugurlah amalan mereka di dunia dan akhirat, dan mereka itu ialah ahli neraka yang mereka kekal di dalamnya” (QS Al-Baqarah: 217).
Ulama kharismatik Indonesia, Hamka menolak wacana di atas, ia menulis “Hak ini meliputi kemerdekaan untuk menukar agama atau kepercayaan. Kata-kata ini tidak dapat diterima oleh orang Islam, sebab sangat bertentangan dengan pokok dasar dan pegangan Agama Islam. Dalam Agama Islam, seorang yang meninggalkan Islam, sehingga tidak beragama sama sekali, atau pindah kepada agama yang lain, Murtad namanya” (Lihat Majalah Islamia edisi 10 Desember 2009, HAM dan Kebebasan: “Duham di Mata Prof. Hamka”: Adian Husaini). Dalam Islam kebebasan beragama memang tidak dilarang, lihat surah Al-Kafirun. Tetapi tidak berarti dengan dalih kebebasan beragama boleh sesuka hati mnista merusak agama tanpa memperdulikan hukum.
Masih ada hubungannya dengan HAM dan Kebebasan, isu perkawinan sesama jenis yang didukung oleh mahasiswa Fakultas Syari’ah di Semarang tahun 2004. Mereka menerbitkan sebuah Jurnal dengan judul, “Indahnya Kawin Sesama Jenis”, dalam pengantar redaksi jurnal tersebut tertulis, “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sesama jenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sesama jenis. Sebab Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya meciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebebasan”. Pada 11 November 2009 dalam sebuah seminar bertemakan “Nikah Yes, Gay Yes !”. Seminar dihadiri ratusan mahasiswa. Seorang pembicara dalam seminar tersebut mengungkapkan, bahwa kaum Luth diazab bukan karena kasus homoseks, tetapi karena menghilangkan eksistensi Nabi Luth (Lihat Majalah Islamia edisi Kamis, 10 Desember 2009, “HAM dan Kebebasan oleh Dr. Adian Husaini).
Para pendukung gay, lesbianisme, biseksual ini biasanya mengacu pada perumusan prinsip-prinsip Yogyakarta yaitu “The Yogyakarta Principles” yang didatangi oleh 29 pakar HAM terkemuka di dunia. Yang diundang-undangkan secara internasional pada sidang Human Rights Council’s PBB di Gnewa, 26 Maret 2007. Dasar yang mereka pakai biasanya adalah “asal tidak merugikan orang lain tidak apa-apa”.
Dengan membonceng HAM dan kebebasan meraka berlindung dan menyebarkan paham-paham keliru dan merusak tersebut. Maka, perlu bagi umat Islam untuk memegang erat aqidahnya, sehingga tidak terjual oleh ideologi tersebut dengan kepentingan duniawi. Umat Islam diberikan kebebasan untuk berekspresi namun mempunyai aturan yang ditetapkan dalam wahyu Allah dan sunnah Nabi saw.
Suatu ketika ada seorang mengucapkan, “yang tahu sesat tidaknya seseorang adalah Sang Pencipta dengan si pelaku (pembuat sesat)”. Kalau dasarnya begitu berarti kasus Lia Eden atau perkawinan sesama jenis bisa dihalalkan, karena yang tahu hati seseorang itu hanya Penciptanya, walaupun secara inderawi jelas-jelas menyeleweng. Kalau hal itu terjadi maka, peradaban manusia berada dalam level serendah-rendahnya, lebih rendah daripada derajat binatang. Secara logika, binatang tidak ada yang homoseks atau lesbian. Namun, saking “pntar-nya” manusia menghalalkan homoseks dan lesbi, dengan asas HAM dan kebebasan. Suara HAM harus diimani dan diikuti, seolah-olah suara HAM dan Kebebasan adalah suara Tuhan yang absolut.
Inilah kondisi abad modern, yang sesungguhnya apabila ditelisik lebih dalam ternyata mengandung banyak virus-virus destruktif. Berbagai macam ideologi bermunculan, setelah Barat yang teracuni mulailah menyebar ke negeri-negeri umat Islam. Cendekiawan-cendekiawan muslim mulai terkontaminasi virus-virus tersebut dengan belajar studi Islam ke Barat, yang dosennya beragama Kristen, Yahudi, bahkan atheis. Inilah bentuk penjajahan baru yang motifnya tetap sama untuk menghilangkan eksistensi Agama Islam namun formatnya berbeda, ang lebih halus tetapi beracun. Dari belajar ke Barat, mulailah cendekiawan-cendekiawan Msulim menggugat dan mengkritisi ayat-ayat Ilahi. Al-Qur’an sudah tidak otentik lagi karena terpengaruh oleh kondisi sosial-budya bangsa Arab, dan harus menyesuaikan kemajuan zaman. Wajar jika muncul semboyan “semakin modern suatu masyarakat, semakin sedikit yang komitmen terhadap agama”. Maka, umat Islam harus kritis terhadap setiap kamajuan zaman, dengan menyeleksi apa-apa dari Barat, karena tidak selamnya yang berasal dari Barat baik untuk ditiru. Jika segala sesuatu yang berasal dari Barat diikuti, aqidah umat Islam bisa terjual oleh kepentingan dunia sesaat. Mudah-mudahan umat Islam bisa bertahan dan menghadapi ideologi global yang semakin menjamur saat ini.

                                                                      Daftar Rujukan:

E-book , Prof. Dr. M.M al A’zami, “The History of The Qur’anic Text –From Revelation to Compilation-”
Syamsudin Arif, “Orientalis dan Diabolisme Pemikiran”. (Jakarta: Gema Insani). 2008
Ebook, Abdullah M. al-Rehaili. Bukti Kebenaran Al-Qur’an. www.pakdenono.com: 2006
Jurnal Islamia, edisi 14 Mei 2009, Ilmuwan Harus Berbakti Kepada Allah”: Freddy Permana  Zen, D.Sc.
Jurnal Islamia edisi, 12 Maret 2009, “Sang Ilmuwan dan Gagasannya”: Nu’im Hidayat
Jurnal Islamia edisi, 10 Desember 2009, “Duham di Mata Prof. Hamka”: Adian Husaini
Jurnal Islamia edisi 10 Desember 2009, “HAM dan Kebebasan”: Adian Husaini
Jurnal Islamia Republika, edisi 13 Agustus 2009, “Orientalis dan Sejarah Indonesia”: M. Isa Anshory
Jurnal Islamia edisi Kamis, 21 September 2010, “Menyerang Al-Qur’an”: Akmal Sjafril
Ebook Teori Keruntuhan Evolusi: Harun Yahya : pakdenono2005

0 Response to "Wahyu dan Tantangan Ideologi Global"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel